Jakarta, Aktual.com – PT PLN (Persero) diminta meninggalkan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar untuk keperluan pembangkit listrik dan memprioritaskan gas karena dari sisi ketersediaan masih melimpah, lebih efisien, dan ramah lingkungan. Jika terus menerus menggunakan solar akan menekan neraca keuangan karena Indonesia kini berstatus sebagai negara pengimpor BBM.

Asal tahu saja, pada 2014 lalu sepertiga dana subsidi untuk solar, habis digunakan oleh PLN. Penggunaan solar untuk pembangkit PLN sejatinya masih sangat besar. Tahun lalu saja masih sebesar 3,7 juta kilo liter. Bahkan pada 2011 pernah tembus 11 juta kilo liter.

Pengamat energi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Peneliti Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, Salamudin Daeng, menyebut, penggunaan gas untuk pembangkit sudah harus jadi prioritas karena dari sisi ketersediaan masih sangat besar. “Ketersediaan gas kita setara 1,5 juta berel per hari,” ujar Daeng di Jakarta, Selasa (12/7).

Dengan ketersediaan sebesar itu, lanjut Daeng, sudah seharusnya mega proyek listrik sebesar 35.000 MW, mayoritas pembangkit listriknya menggunakan gas. Tentu saja, kebijakan pemerintah soal gas juga harus jelas, yakni dengan mengkaji ulang alokasi untuk pasar ekspor harus dikaji ulang agar alokasi gas untuk pembangkit lebih terjamin.

Hitungan efisiensi menggunakan gas bukan isapan jempol. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menghitung, penggunaan gas di pembangkit listrik menurunkan biaya pokok produksi (BPP) listrik. Dengan menggunakan BBM, BPP listrik bisa mencapai Rp 2.200 per kilowatt hour (kWh).

Sementara dengan gas (BPP) bisa Rp 1.300-1.400 per kWh, bahkan ada yang bisa lebih rendah lagi Rp 1.200 per kWh. Artinya, jika memilih gas untuk pembangkit, PLN bisa menghemat cukup signifikan.

Presiden Joko Widodo sendiri mengakui, penggunaan gas untuk pembangkit berkapasitas 200 MW, bisa menghemat anggaran Rp 4 miliar per hari atau Rp 1,46 triliun per tahun. Tentu saja, bila kapasitas pembangkitnya lebih besar dari 200 MW, penghematan pun akan lebih signifikan.

PLN pun sejatinya berpengalaman mengkonversi solar menjadi gas. Sebagai contoh adalah PLTU di Tambak Lorok, Jawa Tengah. Begitu PLTU ini dialiri gas dari blok Kepodang, PLTU ini mempu menghemat hingga Rp 2 triliun per tahun.

“Dengan gas, sudah pasti itu akan menghemat impor BBM. Dengan gas pula, berarti banyak yang bisa dijawab oleh pemerintah karena selama ini defisit akibat impor BBM. Dengan gas ekonomi lebih efisien,” tegas Daeng.

Dalam konteks kebutuhan energi domestik di masa depan, kata Daeng, penggunaan gas untuk pembangkit listrik lebih masuk akal ketimbang terus menerus menggunakan solar. Agar itu bisa diterapkan, maka harus ada regulasi seperti peraturan di bawah undang-undang yang memerintahkan atau prioritas terhadap pembangkit baru untuk menggunakan gas.

“Dalam sepuluh tahun terakhir ini terlalu bergantung ke minyak.Tidak ada jalan lain bagi Pemerintah mendorong PLN untuk bisa menggunakan gas sebagai energi pembangkit listrik,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka