Jakarta, Aktual.com —Kerja sama proyek pembangunan penampungan terminal Gas Alam Cair (LNG) di Bojonegara wilayah perbatasan Banten-Jawa Barat, antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Bumi Sarana Migas (BSM) berpotensi melahirkan oligarki baru di bawah Kalla Group.
Pasalnya, BSM yang saham mayoritasnya dimiliki Kalla Group dengan kerja sama ini bakal mendulang untung besar dan justru dapat merugikan Pertamina.
“Ngeri ini, ada lagi sosok BSM yang merupakan bagian Kalla Group. Ini bisa jadi oligarki,” jelas Koordinator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, ketika dihubungi Aktual.com, Senin (9/5).
Menurut Daeng, kenapa bisa disebut sebagai oligarki karena memang ada kemungkinan permainan di balik kerja sama ini.
Apalagi memang, jika ditengok dari klausul-klausul perjanjiannya, justru dianggap banyak tidak menguntungkan Pertamina. Dan Pwrtanina sendiri sebagai offtaker yang hanya menampung suplai LNG dari BSM nantinya.
“Kenapa saya sebut oligarki? Karena semua pihak dari pembuat kebijakan (legislator), sekaligus pelaksana kebijakan (eksekutif), sekaligus pelaksana proyek (kontraktor), mereka ikut bermain,” tandas dia.
Oligarki sendiri secara kata berarti, bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Menurut Daeng, kelompok oligarki ini telah menjadikan APBN dan BUMN sebagai lahan bancakan.
“Itu semua dilakukan hanya untuk membangun, memperkuat dan memperluas oligarki politiknya. Termasuk dalan kerja sama BSM-Pertamina ini,” cetus dia.
Perlu diketahui, proyek terminal LNG ini dikerjakan oleh Konsorsium BSM yang terdiri dari BSM, Tokyo Gas, Mitsui, dan Pertamina. BSM sendiri adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Bumi Sarana Utama (BSU/Kalla Group).
BSU berdiri sejak 1990 dan merupakan dealer aspal curah Pertamina untuk daerah pemasaran Sulawesi dan Kalimantan. Nantinya, operator terminal LNG Banten-Jawa Barat adalah PT Nusantara Gas Service. Komisaris Utama perusahaan operator itu (NGS) adalah Solichin Kalla.
BSM sendiri adalah perusahaan yang berada dalam naungan Kalla Group, yang saat ini dipimpin oleh Fatimah Kalla (adik Jusuf Kalla). Fatimah menjabat sebagai Direktur Utama BSM, sementara anak JK, yakni Solichin Kalla menjabat sebagai Direktur. Selain itu, Solichin saat ini juga menjabat sebagai Komisaris di PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK).
Penandatanganan kerjasama dengan Pertamina untuk proyek senilai US$500 juta (sekitar Rp6,6 triliun) itu dilakukan oleh Solichin dan Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina, Yenni Andayani disaksikan oleh Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto, pada awal April 2016 lalu.
Kerja sama ini memang agak janggal. Selain dilakukan tidak melalui proses tender, dalam arti Pertamina hanya mengikuti proposal yang diajukan BSM ini, pihak Pertamina juga banyak menanggung beban lain.
Seperti kewajiban membangun jaringan pipa gas sepanjang 150 kilometer dari Bojonegara ke konsumen itu ternyata harus ditanggung Pertamina. Juga ketika ada keterlambatan pasokan gas LNG kepada konsumen, lagi-lagi menjadi tanggungan Pertamina.
Belum lagi bicara komposisi kepemilikan saham dalam konsorsium tersebut, di mana Pertamina hanya menguasai 15% saham saja.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid