Mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif foto bersama As Sayyid Assyarif AsSyekh Dr. Muhammad Fadhil Al Jilani Al Hasani Al Huseini saat acara Halal Bil Halal keluarga Zawiyah Arraudhah di Zawiyah wa Ma'had Arraudhah, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (1/7/2018). AKTUAL/Tino Oktaviano

Saudaraku, umat terbaik mestinya berakhlak (beretika) terbaik. Apakah orang beragama otomatis berakhlak baik? Untuk memperoleh insight ada baiknya membaca buku “Islam and Morality”, karya Oliver Leaman (2019); seorang profesor filsafat AS yang bersimpati pada pemikiran keislaman.

Istilah Arab untuk etika adalah “akhlak”. Satu asal kata dengan “khalik” (pencipta) dan “makhluk”. Dengan demikian, akhlak mulia itu harus memancarkan keterpaduan antara ideal-ideal ketuhanan dengan faktualitas makhluk hidup dengan segala keragaman budaya, spasial dan pengalaman.

Kekeliruan umum sering menyamakan etika dengan hukum (fiqh). Hukum dan etika tak bisa dipisahkan, tapi bisa dibedakan. Hukum berbasis pada aturan. Etika, bukan hanya berbasis aturan, tapi juga pada konsekuensi dan konteks suatu tindakan.

Lazim disebutkan bahwa dasar ontologis shariah (maqasid al-sharia) adalah kemaslahatan/kesejahteraan (maslaha). Namun, realitasnya, terdapat kesulitan yang persisten dalam etika Islam untuk merekonsiliasikan antara maslaha dan maqasid.

Merumuskan maqasid memerlukan kemampuan merumuskan prinsip-prinsip pokok dari suatu tindakan. Dan itu tidak bisa dengan mudah diambil secara siap pakai dari Al-Qur’an; melainkan perlu bantuan hadits, sunnah, sira Nabi, interpretasi para sahabat dan ulama jumhur.

Setelah prinsip dirumuskan, tantangan selanjutnya adalah memahami faktualitas kehidupan yang terus berubah. Dengan demikian, meski prinsip dari maqasid tak berubah, demi maslahat, dimungkinkan perubahan penafsiran sesuai dengan perubahan kontekstual.

Dengan demikian, etika Islam mestinya sejalan dengan desain penciptaan Tuhan yang mempertahankan keragaman, memberi ruang bagi perbedaan pengalaman, dalam rangka saling menyempurnakan dan berlomba dalam kebajikan.

Untuk itu, diperlukan usaha konseptualisasi etika Islam secara kontekstual dan dinamis, disertai konsistensi aktualisasinya sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu. Dalam hal ini, iman, ilmu dan amal harus dihela dalam satu tarikan nafas untuk membuatnya tetap terjaga dan menyala.

Belajar Merunduk, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin