“Agamaku adalah cinta dan rumah ibadahku di hati manusia,” ungkapan dari seorang Sufi, Jalaluddin Rumi itu dikutip oleh Ketua Esoterika Forum Spiritualitas Denny JA pada pidato sambutan yang disampaikan dalam acara forum spiritual Esoterika yang memperingati perayaan hari Khilafat Ahmadiyah.
Acara ini diadakan pada Sabtu, 25 Mei, di Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BPPK), Cilandak, Jakarta Selatan, dan dihadiri oleh ratusan orang dari kalangan akademisi, agamawan, aktivis serta masyarakat umum.
Pada pidatonya, Denny JA menyoroti pentingnya memilih jalan cinta sebagai ekspresi agama, mengutip hasil riset yang menunjukkan bahwa pemikiran yang dipenuhi dengan cinta dan kasih menghasilkan dampak positif pada kesejahteraan mental.
“Sejak 800 tahun yang lalu sampai sekarang, jika kita memilih jalan cinta sebagai ekspresi agama itu karena renungan filosofis, itu karena sentuhan spiritualitas. Tapi sekarang ini era pengetahuan lebih jauh lagi ini, era neurosains dan sekali lagi kita lihat bukti-bukti akademis mengajak kita memperkuat memilih jalan cinta sebagai ekspresi agama.” ujar Denny JA.
Denny JA menyoroti dua riset utama yang relevan dengan tema keberagaman agama dan ekspresi spiritualitas. Riset pertama, yang dilakukan oleh University of Utah pada tahun 2016, dan riset kedua yang dipublikasikan dalam jurnal neurosains pada tahun 2014, meneliti respon neurologis terhadap keyakinan agama individu.
Responden dari dua kategori yang berbeda yakin bahwa Tuhan memiliki sifat yang berbeda, salah satunya menggambarkan Tuhan sebagai sumber kehidupan yang penuh kasih dan penyayang, sementara yang lainnya mempersepsikan Tuhan sebagai hakim yang adil dan kadang-kadang murka. Hasil riset menunjukkan bahwa penghayatan terhadap keyakinan agama ini berdampak langsung pada aktivitas saraf mental, dengan efek yang berbeda pada sekresi hormon-hormon tertentu.
Mereka yang membayangkan Tuhan sebagai sosok pengasih cenderung memiliki respons neurologis yang menunjukkan peningkatan hormon yang merangsang rasa relaksasi dan perdamaian pikiran, sementara mereka yang membayangkan Tuhan sebagai sosok yang adil dan kadang-kadang murka, menunjukkan respons yang memicu hormon yang terkait dengan rasa gusar dan bersalah.
Selain itu, muncul berbagai riset turunan dilihat lagi efek-efeknya kepada tipologi personalisasi, tipologi personalitas.Mereka yang terbiasa berpikir Tuhan itu Tuhan maha pengasih, yang maha penyayang, cenderung menghasilkan personality yang lebih kuat empatinya. Personality yang lebih pro sosial yang lebih mudah untuk kerja sukarela yang lebih sensitif kepada pro equality.
Dalam penyampaian pidato sambutan tersebut, penekanan diberikan pada hasil riset yang mendukung gagasan bahwa memilih jalan cinta sebagai ekspresi agama memiliki dampak positif pada kesejahteraan mental dan emosional manusia. Menurut Denny JA, sains, terutama dalam bidang neurosains, semakin memperkuat gagasan ini dengan bukti empiris.
Denny JA Kembali mengutip riset yang dihasilkan dari American Psychological Association tahun 2019 menunjukkan bahwa 40% populasi dewasa di Amerika Serikat merasa kesepian. Hasil survei ini merefleksikan kebutuhan akan hubungan personal yang erat dan komunal, yang dapat dijembatani melalui spiritualitas dan ekspresi agama.
Selain itu, data dari World Health Organization tahun 2023 mengejutkan, menyatakan bahwa jumlah kematian akibat bunuh diri telah melampaui jumlah kematian akibat bencana alam, terorisme, dan perang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kesejahteraan mental dan emosional menjadi semakin penting di era modern ini.
Denny JA menyoroti paradoks-peradaban modern yang dihadapi oleh masyarakat global, yang menghadirkan tantangan baru terkait kesejahteraan mental dan emosional. Meskipun kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan koneksi virtual yang lebih kuat, banyak individu yang merasa terisolasi dari hubungan personal yang intim. Hal ini menciptakan paradoks antara konektivitas digital yang tak terbatas dan kesepian sosial yang meningkat.
Paradoks pertama adalah era revolusi teknologi komunikasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun orang dapat berkomunikasi secara virtual dengan luar biasa, dari belahan dunia manapun dan kapanpun secara real-time, muncul juga individu yang merasa terputus dari hubungan personal yang intim. Hal ini menciptakan paradoks di mana meskipun konektivitas digital semakin kuat, banyak orang mengalami kekosongan dalam hubungan personal.
Paradoks kedua adalah berkembangnya industri hiburan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun segala hal, bahkan hiburan, dapat diakses 24 jam sehari melalui ponsel pintar kita, jumlah orang yang merasa kesepian justru meningkat. Ada paradoks di mana kemajuan industri hiburan tidak sejalan dengan kebahagiaan dan kesejahteraan sosial.
Paradoks ketiga adalah kemakmuran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun kekayaan dunia secara ekonomi mencapai puncaknya, semakin banyak orang yang mengalami depresi dan tekanan hidup. Ada paradoks di mana pertumbuhan ekonomi tidak selaras dengan kesejahteraan mental dan emosional masyarakat.
Ketiga paradoks ini menyoroti pentingnya spiritualitas dalam memenuhi kebutuhan manusia akan hubungan personal yang intim dan kesejahteraan emosional. Ini tercermin dalam peningkatan minat terhadap praktik-praktik spiritual seperti yoga dan meditasi, yang menjadi semakin populer di tengah masyarakat modern yang serba terhubung secara digital.
Data dari Global Wellness Institute tahun 2019 mengungkapkan bahwa pasar global untuk kelas-kelas yoga dan meditasi telah mencapai angka sebesar 80 miliar US Dollar atau sekitar 1.200 triliun Rupiah. Fenomena ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang mencari solusi dalam praktik-praktik spiritual untuk mengatasi tantangan kesejahteraan mental dan emosional di era modern yang penuh dengan paradoks. Ini menegaskan bahwa, meskipun kemajuan teknologi dan ekonomi semakin berkembang, kebutuhan akan spiritualitas dan keseimbangan emosional tetap menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia.
Penyampaian pidato tersebut mengakhiri dengan menegaskan pentingnya memilih jalan cinta sebagai ekspresi agama, mengutip moto “Love For All Hatred for None” dari komunitas Ahmadiyah. Dengan demikian, penyampaian pidato sambutan oleh Denny JA menjadi refleksi mendalam tentang pentingnya spiritualitas, cinta, dan hubungan manusiawi dalam menghadapi tantangan peradaban modern.
Oleh: Denny JA
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano