Ambon, aktual.com – Peran agama di Indonesia yang dinilai semakin bergeser dari esensinya dan kini lebih sering digunakan sebagai formalitas serta alat politik.

Direktur Eksekutif Ma’arif Institute Andar Nubowo mengungkapkan agama saat ini lebih sering digunakan sebagai alat politik dan ekonomi.

“Agama hanyalah alat untuk diperlemah atau dipergunakan untuk status quo politik dan ekonomi,” ungkapnya dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertema Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara : Etika dan Agama, yang digelar di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Jumat (20/9/2024).

Nubowo juga menyoroti adanya favoritisme terhadap agama-agama tertentu, yang dianggap memperburuk kondisi moralitas publik.

Dengan agama digunakan sebagai instrumen politik, peran agama dalam menjaga etika dan moralitas masyarakat melemah, menyebabkan terjadinya apa yang disebut Nubowo sebagai tragedi etika dan moralitas publik.

Baginya, agama tidak lagi mampu menjadi kekuatan moral yang independen, tetapi justru menjadi alat untuk kepentingan politik praktis.

Padahal, dalam sejarahnya, peran agama di Indonesia selalu dijadikan basis etika dalam kehidupan berbangsa, bahkan ikut menjadi instrument mencapai kemerdekaan Indonesia.

Di negara-negara barat, jelas Andar, dikembangkan konsep mengenai civil religion yang berasal dari nilai universal dan nilai profetik agama yang ditumpukan atau disandarkan pada nilai-nilai agama yang nilai universal sekaligus digabungkan pada prinsip sekular modern di Barat.

“Ini saya kira perlu jadi renungan kita semua bagaimana negara kita yang berideologi Pancasila perlu melakukan radikalisasi Pancasila, sebagaimana yang disebutkan Kuntowijoyo. Jadi bagaiman jadikan pancasila sebagai ideologi dasar kita. Sehingga pancasila bukan Cuma batang tubuh, tapi juga kaki-kaki kita,” katanya.

Akademisi IAIN Ambon, Abidin Wakano melihat agama-agama di Indonesia kini kehilangan “elan vital” atau semangat profetiknya.

Menurut Wakano, agama sudah tidak lagi memiliki daya untuk menuntun masyarakat menjawab berbagai tantangan sosial dan justru terjebak dalam industrialisasi politik identitas.

“Oligarki, kapitalisasi agama membuat agama-agama ikut terperangkap dalam sistem oligarki,” tegas Wakano, yang menyoroti kekuatan ekonomi dan politik elit turut menggerus otoritas moral agama.

Wakano menilai sejak Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, agama telah digunakan secara luas dalam narasi politik identitas. Penggunaan agama dalam politik ini menyebabkan segregasi sosial, memecah masyarakat berdasarkan identitas agama, dan memunculkan mentalitas in-group dan out-group.

Agama yang seharusnya berperan sebagai pedoman etis dan moral bagi masyarakat, kini terperangkap dalam dinamika politik praktis yang mengaburkan nilai-nilai substansial agama.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano