Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional Ahmad Najib Burhani mengungkapkan adanya paradoks dalam keberagamaan di Indonesia. Salah satunya pluralits yang terbatas.

Menurut Burhani, meskipun Indonesia mengakui pluralisme agama, ada batasan-batasan tertentu yang diberikan oleh negara. Hal ini serupa dengan pendekatan “messianic tendency” yang dilakukan oleh negara-negara Barat dalam menyebarkan nilai-nilai mereka, seperti kolonialisme yang beralasan membawa peradaban.

“Di kita, dengan membawa mereka ke jalan yang benar, kita sebut itu paradigma yang melegalkan diskriminasi terhadap agama yang lain,” ujarnya.

Burhani juga menyebutkan paradoks negara beragama dan berketuhanan yang menunjukkan ada korelasi yang tampak negatif antara kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dengan keyakinan terhadap pentingnya agama.

“Negara yang memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi cenderung masyarakatnya menganggap agama tidak penting,” ujarnya, merujuk pada World Happiness Index yang menunjukkan bahwa negara-negara yang lebih bahagia sering kali adalah negara yang tidak terlalu religius.

Namun, Burhani juga mencatat bahwa negara-negara yang religius sering kali unggul dalam filantropi, termasuk Indonesia.

“Filantropi adalah salah satu kekuatan dari negara beragama seperti Indonesia,” tambahnya.

Di sisi lain Akademisi Universitas Satya Wacana Salatiga Izak Lattu mengatakan ada ada pluralitas tanpa kesetaraan dalam pengelolaan agama di Indonesia, yang menyebabkan kelompok-kelompok tertentu merasa terpinggirkan.

“Kita berhadapan dengan mayoritanisme yang sangat besar,” ungkap Lattu, yang menyoroti bagaimana kelompok mayoritas sering kali menganggap kelompok minoritas sebagai “denizen” atau warga negara setengah.

Lattu juga menekankan pentingnya memperkuat nasionalisme berdasarkan Pancasila.

“Kita harus kembali ke Pancasila sebagai akta hidup bersama yang harus ditempatkan sebagai political covenantal pluralism,” tegasnya, seraya menyoroti pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Sementara itu, Direktur Interfidei Elga Sarapung mempertanyakan pengakuan terhadap keberagaman agama di Indonesia.

“Setelah 79 tahun merdeka, kita masih berputar di sekitar berapa agama yang diakui. Masih banyak Masyarakat yang menyebut hanya 5 agama yang diakui di Indonesia,” ungkapnya.

Dia mengamati bahwa meskipun konstitusi mengakui enam agama, praktik nyata di lapangan menunjukkan adanya diskriminasi terhadap agama minoritas seperti Baha’i dan Sikh yang dikategorikan sebagai penghayat kepercayaan.

“Praktik hidup beragama di Indonesia terjebak pada ritualitas tanpa memperhatikan substansi yang lebih dalam,” tambah Elga.

Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zuly Qodir mengatakan, Indonesia dan beberapa negara sudah masuk dalam tahap post-sekularism yang mengarah formalisasi.

Beragama sifatnya hanya artifisia, sehingga tidak mendorong pada motivasi orang menjadi progresif.

“Misalnya bagaimana tentang kemiskinan, bagaimana kemiskinan direspons oleh agama-agama di Indonesia. Ya karena sering ambil sifatnya yang formalistic,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano