Jakarta, Aktual.com – Wakil Presiden di tahun 2009-2014, Budiono mengingatkan pemerintah saat ini agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih kredible, sehingga bisa dipercaya oleh pelaku pasar.

Untuk itu, agar kredibilitas APBN bisa terwujud, maka harus ada jangan sampai rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terlalu tinggi. Pasalnya, pengalaman dirinya keluar dari krisis tahun 1998-1999 untuk menciptakan APBN yang kredibel cukup berat.

“Karena utang ini sumber penyakit. Kalau terpojok maka akan bahaya. Sehingga utang itu harus dijaga dengan baik,” tegas Boediono dalam Seminar Nasional ‘Tantangan Pengelolaan APBN Dari Masa ke Masa’, di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11).

Oleh karena itu, kata dia, debt to GDP atau rasio utang penerintah terhadap PDB harus dijaga. Jangan sampai terus membebani APBN. “Kalau terus meningkat harus diwaspadai, kalau turun lebih bagus,” jelas dia. Saat ini, rasio utangnya seperti disebutkan pemerintah sekitar 28 persen dari PDB.

Hal ini perlu dingatkan, jika tak dijaga secara prudent akan bisa menjadi pemicu krisis keuangan. Dan dari krisis yang sudah terjadi, baik itu di tahun 1998-1999 atau di tahun 2008-2009, krisis itu seperti gempa. Datang dan berapa besarannnya susah ditebak.

“Kalau ada krisis, mulai dari bubble atau gelembungnya saja, sudah ditakutkan. Apalagi sudah menjangkiti ke policy maker (pembuat keputusan),” jelasnya.

Sehingga, kebijakan antisipasi itu harus bisa mengantisipasi dampak dari krisis itu. Karena, struktur ekonomi dalam negeri ini masih rentan dari badai krisis.

“Harus ada bahtera ekonomi dengan struktur yang kuat. Makanya kondisi fiskal dan moneter itu harus prudent. Makanya APBN jangan dibebani banyak utang agar tetap kredibel,” tegasnya.

Dia menceritakan kondisi di saat setelah krisis 1998-1999. Pada tahun 2001 lalu, kepercayaan pasar baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri terhadap pemerintah dan APBN sangat rendah.

“Apakagi kenudian, tiba-tiba beban utang kita eban nongol sangat tinggi dan ada sekitar Rp 600 triliun tiba-tiba ada di pundak kita. Sehingga waktu itu, kita tidak ada dana, dengan kekurangan anggaran itu kita lakukan untuk jual aset,” ceritanya.

Dengan minimnya kredibilitas dan kepercayaan pasar, saat itu pemerintah mau meminjam ke luar negeri saja susah, karena masih belum dipercaya.

“Kita mau pinjam ke luar negeri tidak ada yg mau kasih pinjaman. Karena APBN tidak sustainable dan tidak kredibel. Makanya kita manfaatkan aset di BPPN untuk dijual,” ceritanya lagi.

Tapi kemudian, cerita dia, pemeribtah saat itu bisa mengelola hutangnya dan bisa menunjukkan ke pelaku pasar dengan baik. “Kita reschedule utang kita. Kuta handle dengan baik. Akhirnya dipercaya lagi dan bisa ada utang baru,” tegasnya.[Busthomi]

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid