Jakarta, Aktual.com – Banyaknya data-data nasabah di sektor keuangan seperti perbankan yang terkadang digunakan secara tidak tepat, dirasa akan merugikan nasabah itu sendiri.

Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama dengan kementerian terkait di tahun depan ingin menggolkan RUU Perlindungan Data Pribadi ke DPR agar menjadi program legislasi nasional (Prolegnas).

“Saat ini sedang ada harmonisasi antar kementerian dan OJK. Karena semangat pengajuan UU ini, dilatarbelakangi dari UUD 1945, untuk mewujudkan masyarat demokratis yang menjamin data privacy masyarakat oleh konstitusi,” tegas Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Anto Prabowo, saat acara media gathering di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/11).

Karena selama ini, kata dia, pelaku industri keuangan atau lembaga jasa keuangan kerap menggunakan data-data nasabah yang ada di lembaganya untuk hal-hal lain tanpa terlebih dahulu izin atau konfirmasi ke nasabah tersebut.

“Makanya, semangat pengajuan UU ini, kita berharap ada pengaturan data pribadi di sektor keuangan itu diatur langusng oleh OJK. Karena kami sebagai pengawas industri keuangan wajib melindungi para nasabah,” tutur dia.

Menurutnya, ada tiga sumber data yang dimiliki lembaga jasa keuangan. Sumber data ini yang mrnjadi concern OJK untuk diatur secara tegas dalam RUU tersebut.

Pertama, data nasabah aktif. Data ini berasal dari seorang nasabah ketika memiliki produk dan layanan di sebuah lembaga keuangan, misalnya perbankan. Itu sampai kapan pun datanya pasti disimpan bank itu.

Kedua, data pengguna jasa industri keuangan, tapi tak menjadi nasabah langsung. Misal konsumen itu ingin memanfaatkan layanan Real-Time Gross Settlement (RTGS) atau layanan jasa transfer valuta rupiah antar bank.

“Biasanya si konsumen diminta untuk mengisi data-data yang diinginkan oleh bank. Dan data itu akan terus disimpan oleh bank,” ucap dia.

Ketiga, data bekas nasabah. Misalnya seseorang pernah mengajukan kredit, baik itu nerupa kartu kredit atau kresit lainnya. “Mestinya data kan rahasia. Dan pihak bank mestinya tidak boleh menggunakan data itu untuk kepentingan lain kecuali minta izin dari yang bersangkutan,” jelas Anto.

Padahal, kata dia, setelah seorang konsumen atau nasabah sudah tidak lagi menggunakan layanan jasa industri keuangan tersebut, bank itu harus memusnahkannya.

“Dati itu harus dihilangkan baik itu secara manual maupun yang ada di sistem. Hal-hal seperti itu yang kita minta ke pemerintah, dalam hal ini ke Kementerian Konunikasi dan Informasi,” tegas Anto.

Dia menegaskan, selain data yang didapat langsung sari nasabahnya, terjadang puhak bank juga mendapat data dari freelance marketing atau telemarketing. Dan di Indonesia belum diatur secara tegas tatacara telemarketing.

“Padahal telemarketing itu pegang data dan rentan disalahgunakan. Makanya harapan kita dengan adanya RUU ini diatur juga sanksinya bagi pemegang data itu yang kemudian digunakan secara serampangan dan beredar kemana-mana,” jelasnya.

Karena selama ini, penjualan data itu terjadi di telemarketing. Dan freelance marketing itu menggunakan data seseorang semau-maunya. “Padahal semakin banyak data seseorang itu beredar maka semakin besar potensinya dirugikan,” pungkas Anto.

Laporan: Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby