Jakarta, Aktual.com – Korupsi merupakan masalah serius yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia. Namun, strategi penegakan hukum sejauh ini lebih berfokus pada perbuatan yang merugikan keuangan negara. Padahal Undang-undang Nomor 31/1999 jo Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mendefinisikan 29 jenis korupsi lain, termasuk suap.
Fokus berlebihan aparat pada aspek kerugian negara yang ditimbulkan, telah mengaburkan esensi korupsi dan kerap menimbulkan kriminalisasi terhadap kebijakan yang seharusnya tidak dipidana. Atas dasar itulah, sejumlah pihak, yaitu Syahril Japarin (mantan Direktur Utama Perum Perindo), Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara), dan Kukuh Kertasafari (mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron) mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas UU 31/1999 jo UU 20/2001, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Kuasa hukum para pemohon, Maqdir Ismail mengatakan, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor merupakan dua pasal kunci yang sering digunakan aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku korupsi, mengingat cakupannya yang luas dan ancaman hukumannya yang cukup berat. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menekankan pada dua aspek utama, yaitu perbuatan melawan hukum dan dampak berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
“Pasal ini bertujuan memberikan hukuman yang setimpal kepada mereka yang dengan sengaja dan secara tidak sah memperoleh keuntungan pribadi atau untuk kepentingan pihak lain, dengan mengorbankan keuangan negara,” jelas Maqdir melalui keterangan resminya di Jakarta, Senin (23/9/2024).
Adapun Pasal 3 UU Tipikor, lebih spesifik mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatannya, yang juga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Dalam praktiknya, penerapan kedua pasal ini sering kali menghadapi tantangan, terutama dalam hal pembuktian dan interpretasi hukum, yang cenderung lebih menekankan pada aspek kerugian negara daripada unsur memperkaya diri secara melawan hukum,” ungkap Maqdir.
Menurut Maqdir, pendekatan yang berfokus pada kerugian negara ini kerap didorong oleh desakan untuk menunjukkan besarnya dampak ekonomi dari korupsi. Di satu sisi, pendekatan tersebut mengaburkan esensi korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain.
“Dalam beberapa kasus, fokus yang berlebihan pada kerugian negara telah menimbulkan konsekuensi yang tidak adil bagi terdakwa, terutama ketika tidak ada niat jahat untuk memperkaya diri secara melawan hukum,” ujarnya.
Maqdir melanjutkan, permasalahan semakin kompleks ketika penegak hukum mulai memperluas definisi kerugian perekonomian dan keuangan negara untuk mencakup berbagai bentuk kerugian, termasuk kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini membuat direksi BUMN berada dalam posisi yang rentan. Keputusan bisnis yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dapat dipandang sebagai tindak pidana korupsi, meskipun keputusan tersebut diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
“Di beberapa kasus besar, acapkali terjadi sesat tafsir pada aparat penegak hukum sehingga kerugian BUMN akibat kebijakan bisnis dianggap tindak korupsi. Di negara lain, misalnya Amerika Serikat, keputusan bisnis yang berujung pada kerugian perusahaan termasuk dalam ranah business judgment rule. Jadi, bukan pidana, selama keputusan tersebut diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” sergah Maqdir.
Lebih jauh Maqdir menilai, fokus berlebihan pada aspek kerugian bukan saja menimbulkan kriminalisasi terhadap kebijakan yang salah, tetapi juga menyebabkan pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif dan efisien karena banyak kasus suap justru tidak tersentuh. Salah fokus dalam pemberantasan korupsi juga berdampak buruk pada kualitas penegak hukum dan menciptakan ketidak pastian bagi mereka yang bekerja di sektor publik.
“Pejabat publik, termasuk direksi BUMN dan BUMD menjadi takut membuat keputusan strategis yang bisa menimbulkan risiko keuangan, meski keputusan tersebut bertujuan untuk kebaikan publik,” kata Maqdir.
Maqdir berharap, Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menerima dali-dalil yang disampaikan pemohon dan mengabulkan permohonan untuk membatalkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“Paling tidak, seandainya dua pasal tersebut tetap dipakai, harus ada klausul tambahan yang menegaskan delik korupsi. Dalam hal ini frasa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi harus ditambahkan dengan syarat adanya unsur suap atau akibat penyuapan,” tandas Maqdir.
Illian Deta Arta Sari, yang juga menjadi kuasa hukum para pemohon menambahkan, uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dilakukan bukan untuk menghambat atau memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Sebaliknya, hal itu ditujukan agar pemberantasan korupsi lebih tepat sasaran dan berkeadilan.
“Kalau kita perhatikan, upaya pemberantasan korupsi dalam beberapa tahun ini berjalan stagnan, bahkan relatif turun yang tercermin dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang hanya ada di peringkat 96 dari 180 negara. Laporan ICW juga menunjukkan adanya tren peningkatan korupsi dalam lima tahun terakhir. Uji materi ini diharapkan bisa menjadi pemicu perbaikan upaya pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif tetapi tetap berkeadilan,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain