Jakarta, Aktual.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan segera melakukan amandemen tiga UU Bank Indonesia, UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Langkah ini dilakukan seiring telah disahkannya UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

“Terutama untuk revisi UU BI dan UU OJK, sehingga mereka berdua tidak overlap dan tahu ruangannya masing-masing,” tegas Wakil Ketua Komisi XI DPR, Soepriyanto di Jakarta, Senin (4/4) malam.

Menurut dia, selama kewenangan pengaturan BI ada di sektor makroprudensial dan kewenangan OJK di bidang mikroprudensial. Sementara untuk pengawasannya sepenuhnya ada di OJK.

Namun demikian, dirasa masih ada saja grey area-nya, sehingga butuh aturan yang jelas agar dalam penangan bank sistem yang gagal tidak tumpang tindih.

“Maka dari itu, kami akan luruskan definisi makroprudential dan mikroprudential, sebab sekarang ini satu hal bisa menjadi kebijakan OJK atau BI,” tegas dia.

Ia mencontohkan terkait pengaturan minimal ratio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR), sebelumnya masih dalan Peraturan Bank Indonesia (PBI). “Tapi ke depan mestinya dari yang semula PBI dipindahkan menjadi POJK(Peraturan OJK),” ungkapnya.

Hal ini penting, mengingat pengawasan insentif yang dilakukan oleh OJK itu akan mengawasi terkait posisi CAR-nya. “Jika CAR-nya kurang dari 8 persen akan masuk area pengawasan insentif,” tegas Sopriyanto.

Untuk itu, kata dia, segala pengaturan ulang kebijakan BI dan OJK tersebut akan tertuang dalam revisi UU OJK dan UU BI. Termasuk juga banyak istilah yang harus disesuaikan. Salah satunya, semula sisebut Forum Komunikasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) menjadi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

KSSK sendiri terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur BI, Kerua Dewan Komisioner (DK) OJK, dan Ketua DK LPS.

Ia berharap, dengan penegasan fungsi dan kewenangan dua regulator perbankan tersebut akan ada keterpaduan dan koordinasi.

“Diharapkan, kami akan membahas revisi UU OJK, BI dan LPS, secara bersamaan dan paralel di tahun ini,” tegas dia.

Terkait UU LPS, di UU PPKSK memang disebutkan soal premis LPS. Meski tidak disebutkan jumlahnya, tapi pengaturannya sangat penting. Makanya, UU LPS juga harus menyesuaikannya.

Premi LPS ini pentinga, mengingat penanangan dalam bank gagal sistemik ini menggunakan skema bail-in atau menggunakan dana internal bank sendiri dan salah satunya melalui premi penjaminan simpanan atau premi LPS.

Untuk itu, Soepriyanto juga mengusulkan agar pemerintah segera mengajukan kenaikan premi LPS. “Sebelum mengajukan kenaikan itu, pemerintah harus terlebih dahulu bicara dengan kalangan perbankan,” tegas dia.

Di tempat yang sama, Anggota Dewan Komisioner LPS, Destry Damayanti menyebutkan, saat ini premi LPS yang berlaku sebesar 0,2 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) per tahun memang relatif kecil.

“Sekarang premi LPS 0,2 persen setiap tahun dan hinga saat ini dana penjaminan itu hanya terkumpul Rp 67 triliun,” ujarnya.

Padahal, menurut Destry, mengacu pada praktek di perbankan internasional rasionya mesti sebesar 2,5 persen dari DPK. Sedangkan dana penjaminan LPS hanya 1,5 persen dari total DPK perbankan naional sebesar Rp4.500 triliun.

“Jadi memang masih kurang, tapi jika mau menaikan premi harus dibicarakan dulu dengan pemerintah,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh: