Medan, Aktual.co — Perusahaan tambang emas PT. Agincourt Resources (AR) di Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dituding tak melakukan reklamasi paska eksplorasi.

Tudingan itu disampaikan, Direktur Eksekutif Jaringan Monitoring Tambang (JMT) Ali Adam Lubis melalui siaran pers kepada Aktual.co, Senin (16/3).

Dikatakan Ali, hasil analisis yang dilakukan pihaknya selama dua tahun lebih, tata kelola tambang PT. AR dinilai tidak berpedoman pada sejumlah Undang-Undang.

Di antaranya nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), Peraturan Pemerintah No 78/2010 tentang reklamasi pasca tambang hinga Peraturan Menteri ESDM No 18/2008 tentang reklamasi dan penutupan tambang.

Penuturan Ali, perusahaan asal Hongkong itu sebelum berproduksi tahun 2012 lalu, terlebih dulu melakukan eksplorasi tambang di Uluala Hulu, Kecamatan Batangtoru Tapanuli Selatan. Setelah melakukan eksplorasi, lanjut Ali, ternyata PT AR diduga tidak melakukan reklamasi sesuai aturan.

“Reklamasi bekas tambang adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya,” jelas Ali.

Ali menuturkan, Reklamasi mensyaratkan pelibatan masyarakat dalam proses reklamasi bekas tambang agar dapat menyentuh dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan politik yang berkembang di masyarakat.

“Namun dari fakta di lapangan, PT AR tidak pernah melakukan reklamasi dan membiarkan lahan konsesinya hingga tak bertuan,” tuduh ali.

Menurut Ali, pembiaran lahan rusak hingga tak bertuan tentu akan memicu konflik diantara masyarakat. Sebab lahan konsesi yang statusnya milik negara itu, bisa saja menjadi perebutan. “Ini memicu perang etnis, karena di kawasan sana banyak etnis yang mendiami,” tandas Ali.

Selain itu, lanjut Ali, selain potensi penguasaan lahan oleh masyarakat yang muncul akibat tak dilakukannya reklamasi. “Sebab jika tak direklamasi maka tak ada plank menandakan bahwa lahan itu masih berstatus konsesi dan milik negara,” ungkapnya.

Dengan begitu, sambung Ali, warga akan berbondong-bondong mengklaim lahan tersebut sudah dimiliki warga. Dan, pada masa mendatang, setelah lahan itu diklaim warga, bisa saja PT AR akan membeli lahan itu dari warga tanpa harus berurusan dengan negara.

“Buntutnya, yang tadinya PT AR menguasai lahan dengan status konsesi (dikontrakkan oleh negara), maka ke depan PT AR menguasai penuh lahan itu dengan status hak milik karena membelinya dari warga,” ungkapnya.

“Ada semacam transaksi lahan di situ. Lahan negara yang tadinya berstatus konsesi, diakali (disiasati) hingga dikhawatirkan menjadi milik PT AR ke depan. Lepaslah lahan negara kita,” timpalnya.

Menurut Ali, dalam proses reklamasi itu seharusnya ada aliran uang yang diterima Pemkab Tapsel dari PT AR. Namun, menurut Ali tidak diketahui apakah dana untuk reklamasi itu diberikan atau tidak.

“Namun kita tak tahu. Jika uang itu ada, ke mana uang itu. Jika tidak ada, maka PT AR jelas melanggar hukum,” katanya.

Tak hanya dua soal itu, sambung Ali, dalam RKL dan RPL dijelaskan PT AR wajib mengambil sample-sampel terhadap sumur masyarakat sekitar tambang Martabe setiap tiga bulan sekali. “Namun hal itu tidak dilakukan PT AR,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh: