Jakarta, Aktual.com – Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menilai penguatan industri tekstil dalam negeri dan terjaminnya pasokan bahan baku menjadi kunci untuk menekan ketergantungan pasar terhadap pakaian bekas impor atau thrifting.

“Jika daya saing meningkat dan pasokan lokal kuat, thrifting pasti berkurang,” ujar Anne dalam keterangan tertulis, Rabu (10/12/2025).

Anne menjelaskan bahwa industri lokal sebenarnya memiliki kapasitas untuk menghadapi derasnya impor produk pakaian. Namun, kemampuan tersebut belum merata di seluruh pabrik. Tantangan terbesar, kata dia, terletak pada pemenuhan standar Environmental, Social, and Governance (ESG), mulai dari aspek lingkungan, sosial, hingga penggunaan energi ramah lingkungan.

Banyak pabrik, menurutnya, belum mampu memenuhi seluruh persyaratan secara utuh. “Jika standar lingkungan, perizinan, upah minimum, hingga penggunaan energi non-pool bisa dipenuhi, produk dalam negeri sebenarnya punya peluang besar diterima merek internasional,” jelasnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa bahan kain untuk memenuhi permintaan merek global masih banyak diimpor. Hal ini karena sebagian pabrik lokal belum mampu menghasilkan kualitas kain yang konsisten sesuai standar global, terutama untuk segmen performance fabric dan sustainable textile.

“Kita sebenarnya kompetitif, tetapi kapasitas produksi belum cukup besar dan kecepatannya masih terbatas,” tutur Anne.

Meski demikian, untuk kebutuhan busana muslim dan kerudung, produksi dalam negeri dinilai sudah mampu memenuhi sebagian besar permintaan pasar. Namun jenis kain tertentu yang membutuhkan teknologi finishing khusus atau karakter handfeel spesifik masih harus diimpor karena keterbatasan fasilitas produksi di pabrik lokal.

“Secara kapasitas sebenarnya bisa, tetapi untuk spesifikasi tertentu masih harus mengandalkan impor,” ujarnya.

Anne menegaskan, menekan peredaran thrifting tidak cukup hanya dengan memperkuat industri lokal. Dibutuhkan pula konsistensi penegakan regulasi serta perubahan perilaku konsumen.
“Tetap dibutuhkan kepastian regulasi,” tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan tegas menolak wacana legalisasi penjualan pakaian bekas, meskipun pelakunya membayar pajak. Sikap itu, kata Purbaya, diperlukan untuk mencegah masuknya barang impor ilegal yang dapat merusak industri tekstil dan garmen nasional.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi