Kritik terhadap MK

Sementara itu, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS, mengkritisi kecenderungan MK yang menurutnya telah menjalankan fungsi judicial activism, bukan sekadar_ judicial restraint_. Ia menilai, MK telah memasuki wilayah pembentuk norma, yang seharusnya menjadi ranah legislatif.

“Putusan MK bersifat final dan mengikat, tapi tidak punya challenger. Ketika sembilan hakim MK memutus suatu perkara, siapa yang bisa membanding atau menyeimbanginya? Tidak ada,” ujar Abdul Hakim.

Menurutnya, keputusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah memiliki konsekuensi besar dan tidak bisa diputus secara sepihak, apalagi tanpa diskusi yang cukup dengan pemangku kepentingan seperti KPU, Bawaslu, DPR, maupun masyarakat sipil.

“Ini keputusan yang berdampak pada ratusan juta rakyat Indonesia. Apakah MK sudah berdialog dengan KPU atau Bawaslu sebelum memutus? Belum. Tapi konsekuensinya luar biasa. Bahkan bisa menabrak empat undang-undang yang sudah ada,” ujarnya.

Abdul Hakim juga menilai keputusan MK terkait pemilu ini bisa menggeser masa jabatan DPRD dari lima tahun menjadi tujuh tahun jika tidak dikawal hati-hati, karena adanya pergeseran jadwal pemilu nasional dan daerah. Ia pun mendorong agar diskursus mengenai MK sebagai lembaga super body segera dikaji ulang.

“Sudah saatnya ada pembanding bagi MK. Kalau ada pelanggaran etik, hakim MK diadili oleh siapa? MK sendiri. Anggotanya dipilih sendiri. Ini tidak sehat bagi sistem demokrasi kita,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano