Bandung, Aktual.com – Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan bahwa Ekonomi Syariah merupakan sistem ekonomi berbasis pada keyakinan kepada Allah SWT dengan sumbernya Al-Quran dan Sunah Nabi. Sistem ekonomi ini diyakini bisa membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia.
“Untuk urusan ekonomi yang bersumber pada wahyu, ini kan urusannya believe atau keyakinan. Karena kalau belum terjadi, yang salah yang mempraktekkan, belum berhasil mempraktekkan, bukan konsepnya salah. Itu kalau kemudian sebuah konsep berkategori believe, berkategori keyakinan,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/5),
Disampaikan, konsep ekonomi syariah berbeda dengan konsep yang berasal dari manusia. Konsep dari manusia berdasarkan pengalaman dan pengamalan, bukan keyakinan. Konsep ekonomi syariah diyakini akan dapat memajukan bangsa Indonesia ke depan.
“Kita menghadirkan konsep apapun dalam ruang negeri yang kita cintai ini, sesungguhnya ini bagian dari cinta kepada negeri untuk menghadirkan berbagai konsep kehidupan yang bisa menghadirkan Indonesia yang lebih makmur, lebih sejahtera,” jelasnya.
Aher menjelaskan, prinsip ekonomi dalam Islam yaitu pasar bebas yang berkeadilan. Artinya, non-ribawi, non-gharar, dan non-keserakahan. Menurut Aher, distribusi merupakan kunci bagi pihak yang memiliki banyak modal atau kemampuan dalam materi.
“Dalam konteks hak dia dibelanjakan untuk anak dan istri, untuk keperluan hidupnya. Lalu didistribusikan lagi untuk orang lain, dalam bentuk distribusi wajib, zakat namanya. Dan distribusi tidak wajib infaq dan sedekah namanya. Dan ternyata, infaq sedekah bukan mengurangi harta tapi menambah harta,” ucapnya.
Dengan distribusi zakat, infaq, dan sedekah, harta tidak akan diam. Harta akan mengalir kepada pihak lain, sehingga orang lain ikut berdaya dan menjadi sejahtera. Menurut Aher, hal tersebut bertolak belakang dengan prinsip Adam Smith, yang membiarkan harta menumpuk pada seseorang atau kaum kapitalis saja.
“Nah, Adam Smith beda, kata Adam Smith biarkan saja harta menumpuk pada seseorang nanti juga netes. Ternyata ga netes-netes sampai akhir. Jadilah konglomerasi yang kemudian ada kesenjangan yang luar biasa antara yang kaya dan miskin,” pungkas Aher.
(Muhammad Jatnika)
Artikel ini ditulis oleh: