Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (tengah) siap memberikan keterangan usai diperiksa Bareskim Polri di Mabes Polri, Jakarta, Senin (7/11). Ahok diperiksa sembilan jam oleh penyelidik Bareskrim Polri sebagai terlapor pada kasus dugaan penistaan agama. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./ama/16

Jakarta, Aktual.com – Penanganan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri tidak ditentukan oleh banyak atau tidaknya pihak yang pro maupun kontra.

“Ini tidak terkait dengan jumlah banyaknya ahli yang pro atau kontra, tapi dari kebenarannya. MA kan sudah memutus perkara ini. Penistaan agama itu kan rujukannya MUI,” terang ahli hukum pidana Teuku Nasrullah, dalam diskusi publik ‘Kasus Ahok Nista Islam dalam Perspektif Hukum Pidana’ di Sekretariat Rumah Amanah Rakyat, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (10/11).

Disampaikan, dalam KUHP tidak ada bab yang secara khusus mengatur mengenai penistaan agama. Yang ada adalah bab yang mengatur mengenai ketertiban umum. Pada bab ini efeknya pada penistaan agama. Apakah seseorang dinnyatakan menistakan agama atau tidak tinggal diuji secara hukum pidana.

“Orang yang agamanya dinistakan. Kalau masyarakat merasa ini sudah menistakan, tinggal diuji secara hukum pidana, menistakan atau tidak,” kata Nasrullah.

“Saya tidak punya kapasitas menilai (Ahok) itu. Tapi ingat, jangan diplesetkan ke penafsiran ke Al Maidah 51. Itu bahaya. Nanti timbul dua kelompok dua ahli agama yang pro dan tidak terhadap Al Maidah 51,” sambungnya.

Rujukannya pihak kepolisian dalam hal penistaan agama ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga yang memang keberadaannya menentukan seseorang dianggap menistakan agama atau tidak.

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby