Berlin, Aktual.com – Sistem peringatan dini tsunami telah dibangun di Indonesia sejak belasan tahun silam, utamanya setelah Indonesia dikagetkan oleh gempa Aceh yang mengakibatkan tsunami dan menimbulkan banyak korban.
Sistem ini merupakan rancangan Pusat Geologi asal Jerman, Geoforschungszentrums (GFZ) Potsdam. Sistem peringatan ini pun menjadi sorotan lantaran tidak berhasil mengevakuasi warga Palu dan Donggala yang terdampak tsunami.
Seakan paham menjadi sorota, pihak GFZ melalui juru bicaranya, Josef Zens pun angkat bicara tentang sitem peringatan dini tsunami yang dirancangnya.
Josef menegaskan, sistem dan piranti lunak tersebut masih berfungsi dengan baik.
“Menurut informasi yang kami terima, software-nya berfungsi dengan baik”, kata Josef seperti dilansir oleh Harian “Tagesspiegel”, 1 Oktober 2018.
Menurut Josef, pusat pemantauan sistem peringatan dini tsunami di Jakarta telah mengeluarkan peringatan terhadap potensi tsunami, lima menit setelah terjadi di Sulawesi Tengah, Jumat (28/9) lalu.
Berdasar simulasi komputer, lanjutnya, disebutkan ada ancaman gelombang tsunami dengan ketinggian 0,5-3 meter. Faktanya, gelombang besar mencamai daerah pesisir Palu 20 menit setelah gempa.
Pertanyaannya, jika sistem ini berfungsi dengan baik, kenapa masyarakat Palu tidak mengetahui tentang peringatan tsunami?
Josef menyebut penyampaian informasi yang tidak tersampaikan sebagai kemungkinan yang paling dekat. Jarak antara Jakarta dengan Palu memang mencapai lebih dari 1.500 km.
Selain itu, ia juga menyoroti ditariknya peringatan dini oleh BMKG yang hanya 37 menit setelah peringatan pertama dikeluarkan. Josef menyebut penarikan ini terlalu cepat.
“Sistem yang kami buat mengatur bahwa peringatan tsunami paling cepat baru bisa dibatalkan setelah dua jam,” jelasnya.
Dia menambahkan, masih harus ditelusuri, mengapa pembatalan peringatan tsunami dikeluarkan secepat itu.
Sementara itu, salah satu ahli GFZ yang ikut membangun sistem peringatan dini tsunami untuk Indonesia, Jrn Lauterjung mengatakan, sistemnya berfungsi baik karena informasi ancaman tsunami disebarkan lima menit setelah gempa kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam jaringan bencana.
“Namun informasi itu tampaknya tidak sampai kepada masyarakat setempat yang membutuhkannya,” kata Lauterjung televisi Jerman ARD.
Ditanya apakah waktu lima menit masih bisa dipersingkat, dia menjelaskan,”Semua data-data yang diterima dari lokasi gempa harus diolah oleh komputer, kemudian dibuat model simulasi untuk menentukan, apakah ada ancaman gelombang tsunami, dan lokasi mana saja yang terancam. Semua itu berlangsung empat sampai lima menit. Itulah waktu yang tercepat membuat simulasi yang real.”
Jrn Lauterjung menambahkan, yang harus dilakukan saat ini adalah melatih petugas di lapangan agar lebih cepat tanggap dalam menganggulangi bencana jika di kemudian hari terdapat peringatan tsunami.
“Di sini tampaknya masih banyak hal yang bisa dilakukan.”
Jrn Lauterjung mengaku kaget dan prihatin dengan bencana tsunami di Sulawesi Tengah. Terutama karena menyangkut nyawa ratusan atau ribuan orang dan sudah ada sistem peringatan dini tsunami yang berfungsi.
Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dari Jerman setelah bencana besar 2004 di Aceh dan Sumatera Utara.
Ketika itu, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter yang berpusat di Simeuleu menyebabkan gelombang tsunami hebat sampai ke Samudera Hindia. Lebih 230.000 orang tewas di seluruh dunia, di Aceh dan Sumatera Utara saja korban tewas mencapai lebih 160.000 orang.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan