Jakarta, Aktual.co — Penyebab utama kegagalan pengadaan fasilitas, riset terpadu dan alih teknologi produksi vaksin flu burung untuk manusia di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun anggaran 2008-2010, adalah tidak adanya uji kelayakan (feasibility study) terhadap proyek tersebut.
Demikian disampaikan Ahli Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sulalit saat bersaksi untuk terdakwa Rahmat Basuki, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Selatan.
“Tidak dilandasi dengan visibilitas study yang benar. Proposal mengenai visibilitas study itu yang paling penting,” papar Sulalit di depan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Senin (1/6).
Seperti diketahui, baik tidaknya sebuah proyek dapat dilihat dari uji kelayakan yang telah dilakukan, sehingga memberi gambaran layak (feasible-go) atau tidak layak (no feasible-no go) suatu proyek.
Dia pun menyayangkan proyek pengadaan yang membutuhkan anggaran lebih dari Rp 1,4 triliun itu, tidak dikerjakan dengan pedoman yang menyeluruh.
“Seperti yang tadi kita rekomendasikan. Harus dilakukan penilaian secara menyeluruh, pembiayaan, pelaksananya yang harus kompeten,” tandasnya.
Dalam persidangan untuk terdakwa Tunggul Parningotan Sihombing, yang juga tersangka kasus korupsi proyek pengadaan vaksin flu burung ini, anggota Tim Teknis dari PT Bio Farma, Dori Ugiyadi mengatakan bahwa dirinya tidak sanggup memberikan rekomendasi pengerjaan agar vaksin tersebut bisa diproduksi.
Untuk menangkal hal itu, Bio Farma kemudian menambah jumlah anggota Tim Teknis menjadi sepuluh anggota, dua diantaranya yang masuk adalah Iskandar (Direktur Utama Bio Farma), serta Mahendra Suhardono (Direktur Produksi Bio Farma).
Namun demikian, masuknya Iskandar dan Mahendra nampaknya tidak membuat proyek tersebut berjalan. Pasalnya, proyek tersebut tetap saja dihentikan. Dan menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) proyek tersebut membuat negara menjadi merugi lebih dari Rp 700 miliar.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby