Jakarta, Aktual.com – Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai jurus andalan Pemprov DKI untuk merelokasi atau memindahkan warga di pemukiman kumuh ke rumah susun sewa (rusunawa) itu sebagai bentuk penindasan. Sebab salah satu syarat relokasi adalah harus ada kesepakatan dengan warga terdampak.
“(Di DKI) Sekarang kan ngga. Itu sesungguhnya penindasan,” ujar dia, kepada Aktual.com, di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (29/8).
Makna relokasi pun, kata dia, adalah memindahkan warga ke tempat yang lebih layak mencakup perbaikan kualitas hidup di bidang sosial, ekonomi berkelanjutan. Bukan sekedar soal dapat kamar, kompor, air dan harus bayar sewa pula.
“Itu bukan kebaikan Pemprov DKI tapi memang sudah kewajiban dia yang disebut pemenuhan hak asasi manusia. Harus dipastikan mereka (yang direlokasi) meningkat kualitas kehidupannya,” ujar dia, kepada Aktual.com, di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (29/8).
Tapi kenyataannya, baru berjalan setahun sudah terlihat dampak dari program relokasi ‘tergesa-gesa’ ala Pemprov DKI yang dinakhodai Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Misal: tunggakan dari ratusan penghuni di Rusunawa Jatinegara Baru yang ditempati korban gusuran Kampung Pulo. “Itu menunjukkan ada yang salah dengan tidak terjadinya peningkatan kualitas korban warga gusuran yang direlokasi ke rusunawa,” ucap dia.
Lagi pula, kata dia, relokasi hanya salah satu pilihan untuk menghadapi masalah pemukiman di Jakarta. Ada pilihan lain, yakni revitalisasi. Meskipun sering terdengar, namun makna revitalisasi yang digunakan Pemprov DKI saat ini justru disalahartikan. Yang bentuknya malah relokasi warga korban gusuran ke rusunawa. “Padahal relokasi bukan pilihan bijaksana jika revitalisasi bisa dilakukan,” kata dia.
Opsi Revitalisasi
Tutur Iwan, revitalisasi seharusnya juga dipikirkan sebagai opsi, mengingat keperdataan erat dengan kepemilikan masyarakat. Yakni dengan menata ulang kawasan-kawasan yang dianggap kumuh untuk ditempati agar ditata untuk memiliki ruang terbuka dan secara kebudayaan akan lebih maju. Misal dengan menata (baca: revitalisasi) warga yang tinggal di pinggir sungai Ciliwung dan melibatkan partisipatif warga.
Menurut dia, orang Betawi seperti umumnya orang Melayu, cenderung hidup di pinggir sungai. “Orang di luar kebudayaan itu tidak boleh anggap primitif mereka yang tinggal di pinggir sungai. Cara hidup seperti itu banyak modelnya kok di seluruh dunia,” ujar dia.
Dengan demikian, jika secara ekologis dan ekonomis memungkinkan, harusnya revitalisasi jadi opsi pertama ketimbang relokasi. Itu pun jika program-program pembangunan yang dilakukan Ahok memang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup warganya, termasuk yang tinggal di pemukiman kumuh.
Diingatkan pula olehnya, DKI Jakarta sebenarnya sudah punya contoh keberhasilan dalam penataan kantong-kantong pemukiman kumuh di Jakarta. Yakni proyek penataan kampung MH Thamrin yang dilakukan di jaman Gubernur DKI Ali Sadikin.
“Jakarta sudah punya contoh dan direplikasi dunia itu. Jadi Ahok jangan ahistoris. Harusnya dijalankan lagi, misal dengan konsep kampung deret, kampung susun atau apapun namanya sepanjang melibatkan masyarakat,” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh: