Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, bersama stafnya Sunny Tanuwidjaja, tampil bersaksi di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin (25/7/2016). Ahok dan Sunny bersaksi untuk terdakwa mantan Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro, dalam kasus suap terkait rancangan peraturan daerah (Raperda).

Jakarta, Aktual.com-Pengembang reklamasi pantai utara Jakarta telah mengeluarkan sebagian uangnya untuk membayar tambahan kontribusi dalam bentuk proyek kepada Pemerintah Provinsi DKI.

Pembayaran tersebut, kata Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah penafsirannya, dengan merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 serta perjanjian dengan pengembang pada 18 Maret 2014.

Demikian disampaikan Ahok saat bersaksi dalam sidang mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/7).

“Di kantor Wagub 18 Maret (ada pertemuan dengan pengembang). Yang datang ada diantaranya Pak Ariesman, mewakili JakPro (PT Jakarta Propertindo), karena Muara Wisesa (PT Muara Wisesa Samudra) ada kerja sama dengan Jakpro. Ada Hardi Halim, Pak Benny, Bu Vera. Di situlah kita sebutkan ada kontribusi tambahan untuk penanggulangan banjir, di antaranya rumah pompa, tanggul banjir, jalan inspeksi serta membangun rusun, surat itu beserta lampirannya,” papar Ahok.

Diakui Ahok, dalam rapat tersebut Pemprov dan DKI disepakati bahwa NJOP untuk melengkapi formulasi tambahan kontribusi yakni 15 persen x NJOP x luas lahan yang bisa dijual adalah Rp1 juta per m2. Jadi, perhitungan tambahan kontribusi pengembang adalah 15 persen x Rp1 juta x luas lahan yang bisa dijual.

Nantinya, nominal yang sudah dikeluarkan oleh pengembang untuk membiayai proyek antisipasi banjir itu tidak akan hilang begitu saja. Angka tersebut selanjutkan jadi pengurangan untuk total tambahan kontribusi pengembang reklamasi.

“Mereka setuju, tidak keberatan (kerjakan proyek Pemprov). (NJOP) per meter Rp1 juta. Jadi kalau ada pembangunan jalan inspeksi mereka bilang Rp100 miliar, kemudian kami minta BPKP misalnya mengaudit dan harganya Rp60 miliar maka dihitung sesuai temuan audit itu,” terang Ahok.

Pemaparan Ahok ini menjadi sorotan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihak KPK pun coba menelusuri landasan hukum apa yang dipakai Ahok untuk membuat perjanjian pembayaran tambahan kontribusi pengembang.

Kata Ahok, perjanjian tersebut dibuat dengan bersandar pada Keppres Nomor 52 Tahun 1995. Dimana pada konsiderans Menimbang berbunyi, ‘bahwa untuk mewujudkann fungsi Kawasan Pantura Jakarta sebagai kawasan anndalan,n diperlukan upaya penataan dan pengembangan Kawasan Pantura melalui reklamasi Panntura sekaligus menata ruang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu.

Yang kemudian, dilanjutkan pada Pasal 12 dengan bunyi, ‘segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan Reklamasi Pantura dilakukan secara mandiri oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta bekerjasama dengan swasta, masyarakat dan sumber-sumber lain yang sah menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

“Ada dalam Pasal-nya, untuk mengembangkan reklamasi dengan maksud pengembangan kawasan dan menata daratan. Kalau menata daratan harus ada uangnya. Ini tafsirannya Pak (Jaksa), ini dasar hukumnya,” tuturnya.

“Supaya menata pesisir daratan yang banjir. Inilah dasar Gubernur yang lalu juga. Kira-kira kemudian dengan lihat Keppres ini, dijadikan dasar membuat perjanjian ini,” jelasnya.

Pemaparan Ahok ini sontak disambut dengan pertanyaan Jaksa KPK. “Ini tafsiran saudara?,” tanya Jaksa KPK, Ali Fikri.

“Iya tafsiran saya,” jawab Ahok.

Artikel ini ditulis oleh: