Jakarta, Aktual.com – Iming-iming baru disiapkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk melunakkan hati warga Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur yang ngotot tak mau digusur terkait proyek normalisasi Ciliwung.

Yakni dengan menawarkan ganti rugi berupa lima unit rusun bagi warga Kampung Pulo yang mau dipindah. Syaratnya, mereka harus punya sertifikat lahan lengkap. Tapi itu juga jika luas tanah warga 100 meter persegi.

“Jadi ketika anda (warga) punya tanah yang resmi yaitu sertifikat, kemudian kalian kasih tanah anda misalnya seluas 100 meter ke kami, saya tawarkan penggantian 1,5 kali lahan anda atau menjadi lima unit rusun,” ujar Ahok, di Balai Kota, Jumat (31/7).

Kata dia, tawaran itu bakal disodorkan saat mengundang perwakilan warga pekan depan ke Balai Kota. Alasannya, biar tidak ada salah persepsi. “Saya mau ketemu dulu, panggil mereka datang perwakilan masyarakat hari Selasa. Untuk (warga) dengar saya bicara dulu biar tahu pikiran saya seperti apa,” ucap dia.

Ahok mengklaim tawaran seperti ini belum pernah disodorkan dalam upaya Pemprov DKI merelokasi warga. Demi mendapatkan lahan yang ditempati warga untuk kelanjutan proyek normalisasi Ciliwung, begitu alasannya.

Selain kantongi sertifikat, kata Ahok, warga juga tidak boleh menjual unit rusun yang diberikan. Kecuali ke Pemprov DKI. Tapi boleh untuk disewakan. “Kalau misalnya jual harus jual balik kepada DKI dan harga pasar. Itu satu tawaran yang tidak pernah ada di DKI,” ujar dia.

Tapi seperti pernah diberitakan sebelumnya, sebenarnya janji berikan ganti rugi hanya kepada warga yang memegang sertifikat itu pula yang selama ini jadi persoalan di relokasi warga Kampung Pulo.

Pasalnya, tidak semua warga Kampung Pulo kantongi sertifikat atas kepemilikan lahan yang ditempati. Seperti disampaikan Ketua RT 04/RW 03 Kampung Pulo, Usep. Kata dia, sebagian besar warganya tidak memiliki sertifikat. Melainkan hanya akta jual beli tanah bangunan saja.

Alasannya, mereka sudah menempati lahan itu turun temurun sejak jaman Belanda. Warga Kampung Pulo yang tidak mengantongi sertifikat pun jumlahnya tidak sedikit. Mencapai 50-an lebih.

Suara lain juga disampaikan Ketua Lembaga Masyarakat Kota (LMK) RW 02 Kelurahan Kampung Pulo, Syamsudin. Dia menjelaskan alasan keengganan warga untuk dipindah.

Kata dia, warga menolak dipindah lantaran menganggap Pemprov DKI telah mengabaikan janji. Dimana awalnya Pemprov DKI menggusur warga untuk program normalisasi Kali Ciliwung dengan menggunakan payung hukum Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 193 tahun 2013 yang saat itu masih dijabat Joko Widodo.

Dalam Pergub itu warga yang digusur disebut akan mendapat ganti rugi. “Perjanjiannya segala macam, semuanya sampai ke pohon akan diganti,” kata Syam.

Namun, Pergub 193 kemudian diganti menjadi Pergub 190 Tahun 2014. Di situ ganti rugi mulai berkurang hanya menjadi 25 persen saja. Saat itu warga masih tidak memasalahkan.

“Dari Pergub ke Pergub masih ada angin segar. Masih ada 25 persen. Ya biarinlah nggak apa-apa yang penting diganti,” ungkap dia.

Tapi yang terjadi kemudian, Pemprov DKI ternyata mengabaikan Pergub itu. Warga diberitahu kalau Pergub 190 masa berlakunya sudah habis. Dinyatakan pula kalau warga Kampung Pulo tidak akan dapat ganti rugi. “Dari undangan sosialisasi, tapi malam itu diputuskan. Kan aneh undangannya sosialisasi tapi ternyata diputuskan, ya kita belum siap,” beber Syam.

Selain keberatan pindah, tutur Syam, warga Kampung Pulo juga keberatan jika dianggap sebagai pemukiman liar lantaran warga tidak mendapat pengakuan catatan sipil.

Sebab sejak jaman Gubernur DKI sebelumnya warga Kampung Pulo telah mendapat pengakuan catatan sipil. “Kalau kita lihat, kita ada pengakuan dari kelurahan, sampai Indonesia. Kampung Pulo sebelum nenek moyang Ahok ada, warga Kampung Pulo udah ada,” ujar dia geram.

Artikel ini ditulis oleh: