Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Republik Indonesia Agus Harimurti Yudhoyono. (ANTARA/HO - Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan)

Jakarta, aktual.com – Keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan. Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyebut langkah itu sebagai momentum penting untuk rekonsiliasi sejarah dan memperkuat persatuan bangsa.

Dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (8/11), AHY menilai keputusan tersebut mencerminkan kedewasaan bangsa dalam menghargai jasa para pemimpin, meski memiliki latar belakang politik dan gaya kepemimpinan yang berbeda. “Ini bukan sekadar penghargaan simbolik, tetapi bentuk pengakuan atas kontribusi setiap pemimpin bagi perjalanan bangsa,” ujar AHY.

Menurut AHY, Soeharto dan Gus Dur memiliki warisan yang berbeda namun sama-sama memberi dampak besar. Soeharto dikenal dengan catatan pembangunan dan stabilitas nasional, sementara Gus Dur dikenang sebagai tokoh yang menegakkan nilai kemanusiaan, kebebasan, dan pluralitas. “Warisan keduanya harus dirawat, bukan dipertentangkan,” tegasnya.

Kementerian Sekretariat Negara sebelumnya telah mengumumkan daftar penerima Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025. Nama Soeharto dan Abdurrahman Wahid masuk bersama sederet tokoh dari berbagai daerah. Penganugerahan resmi akan dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada upacara Hari Pahlawan, Senin 10 November 2025, di Istana Negara.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Hadi Tjahjanto, menyampaikan gelar tersebut diputuskan setelah melalui kajian mendalam oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. “Negara menilai jasa keduanya dalam dimensi berbeda, namun berpengaruh besar bagi kemajuan bangsa,” jelas Hadi.

Keputusan tersebut memicu diskusi hangat di sejumlah daerah. Sebagian menilai langkah ini sebagai simbol rekonsiliasi nasional—cara menghadapi sejarah secara jujur tanpa terjebak pada luka politik masa lalu. Di Yogyakarta, kader NU dan aktivis muda Muhammadiyah menggelar doa bersama untuk menghormati kedua tokoh tersebut.

“Kalau Gus Dur mengajarkan kemanusiaan, Pak Harto mengajarkan kedisiplinan. Dua-duanya perlu diteladani,” kata Ustaz Kholil, tokoh muda NU.

Penganugerahan gelar kepada Soeharto dan Gus Dur juga memiliki makna politis. Di tengah upaya pemerintahan Prabowo memperkuat stabilitas nasional pasca-Pemilu 2024, langkah ini dipandang sebagai sinyal merangkul seluruh kekuatan politik, baik nasionalis maupun religius.

Pengamat politik Universitas Indonesia, Dr. Pangi Syarwi Chaniago, menilai kebijakan tersebut sebagai simbol politik persatuan. “Prabowo ingin menunjukkan bahwa negara ini besar karena keberagaman. Soeharto dan Gus Dur adalah dua sisi mata uang yang sama: pembangunan dan kemanusiaan,” ujarnya.