Jakarta, Aktual.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat setidaknya ada 10 jurnalis yang mengalami kekerasan dari aparat saat meliput demonstrasi mahasiswa serentak di berbagai daerah.

“Jurnalis yang menjadi korban (kekerasan), terverifikasi di Jakarta ada empat jurnalis, Makassar tiga jurnalis, dan tiga jurnalis di Jayapura, Papua,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI Joni Aswira, di Jakarta, Rabu (25/9).

Empat jurnalis di Jakarta yang mengalami kekerasan dari aparat, yakni jurnalis Kompas.com, IDN Times, dan Katadata karena merekam kebrutalan aparat kepolisian dalam menangani mahasiswa pedemo.

Satu lagi, kata dia, tim reporter Metro TV dirusak mobilnya oleh massa di kawasan Senayan, sekitar pukul 23.00 WIB, namun tidak ada korban luka.

Kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi juga di Makassar menimpa tiga jurnalis, yakni ANTARA, Inikata.com, dan Makassar Today saat mengambil gambar aksi kebrutalan aparat.

“Sehari sebelumnya, di Jayapura ada tiga jurnalis dihalangi polisi. Mereka dilarang meliput aksi mahasiswa halaman Auditorium Uncen (Universitas Cenderawasih), Senin (23/9),” ucapnya.

Joni menyebutkan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang masih saja terjadi sangat merisaukan, apalagi di beberapa daerah masih berlangsung aksi menolak RUU KUHP, UU KPK, dan sebagainya.

“Baik di Jayapura, Jakarta, maupun Makassar, jurnalis ikut menjadi korban aparat. Hari ini banyak berlangsung aksi di beberapa daerah. Kami mengkuatirkan karena jurnalis sangat rentan dibayangi ancaman,” tuturnya.

Apalagi, kata dia, pola kekerasannya sama, yakni aparat tidak ingin jurnalis merekam kebrutalan mereka dalam menangani pedemo.

“Ini sangat membahayakan bagi kita, dibayangi ancaman ketika meliput unjuk rasa ingin melaporkan sejernih dan seakurat mungkin,” ujarnya.

Joni mengapresiasi sejumlah perusahaan media yang segera merespons dan melaporkan ketika ada jurnalis yang mengalami tindak kekerasan.

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi LBH Pers Gading Yonggar Ditya menjelaskan tindak kekerasan aparat terhadap jurnalis di Jakarta, Makassar, dan Jayapura tidak hanya melanggar pidana.

“Namun, juga menjadi bentuk upaya penghalangan kerja jurnalistik yang diatur UU Nomor 40/1999 tentang Pers,” katanya.

Dalam UU Pers, tegas Gading, pers memiliki hak untuk mencari, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, sementara siapa pun, termasuk aparat kepolisian dan militer yang melakukan upaya kekerasan terhadap kerja jurnalistik dapat dipidana.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan