Jakarta, Aktual.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Dewan Pers dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan membentuk posko pengaduan kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis di perusahaan media tempatnya bekerja.

“Posko tersebut akan didirikan di bawah naungan Dewan Pers dengan inisiasi AJI dan Komnas Perempuan,” kata Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Raisya Maharani dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (26/11).

Dia mengatakan, selama ini korban-korban kekerasan seksual di perusahaan media, belum mendapatkan keadilan atas kasus yang menimpanya dan masih terus mendapatkan tekanan dan kerap kesulitan untuk mencari lembaga yang bisa menampung dan mendampingi penyelesaian kasus tersebut.

“Karena itu pembentukkan posko ini sangat mendesak agar bisa memberikan tempat yang aman dan nyaman bagi korban,” kata Raisya.

Rencana pembentukkan posko ini bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November-10 Desember), kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Pada tahap selanjutnya, AJI, Dewan Pers, dan Komnas Perempuan akan melanjutkan koordinasi untuk menyusun pedoman penanganan kasus kekerasan sesksual untuk Dewan Pers dan meresmikan pendirian posko pengaduan kekerasan seksual bagi pekerja media pada 2017.

Ketua Dewan Pers Yoseph Adi Prasetyo, dalam siaran pers itu juga mengatakan bahwa pentingnya pendirian posko pengaduan itu untuk kepentingan pemberian penyadaran dan efek jera pelaku.

“Lewat posko ini kami tidak hanya ingin memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, tapi juga ingin mendorong perusahaan media untuk membuat pedoman antikekerasan seksual dalam perusahaan media,” katanya.

Berbagai kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang masih terus dan masih rentan dialami jurnalis perempuan telah mendorong dan menjadi pertimbangan utama bagi ketiga lembaga tersebut.

Dari tahun ke tahun, kasus demi kasus terjadi dan tanpa penyelesaian. Belum lama ini, seorang pekerja berstatus jurnalis magang di Radar Lawu, Jawa Timur, menjadi korban pelecehan atasannya.

Majelis Hakim Pengadilan menjatuhkan hukuman delapan bulan penjara kepada pelaku. Kejadian serupa juga pernah dialami enam pekerja media Lembaga Kantor Berita Nasional Antara pada 2013.

“Mereka dilecehkan di tempat mereka bekerja oleh atasannya. Atas kejadian tersebut korban mengalami trauma mendalam,” katanya.

Kasus-kasus di atas menambah data penelitian AJI mengenai kekerasan seksual yang dialami para pekerja media massa.

Pada 2011, AJI Indonesia melakukan penelitian di tujuh kota besar Indonesia, melibatkan 135 responden jurnalis perempuan. Hasilnya menunjukkan sebanyak 6,59 jurnalis mengalami diskriminasi dan 14,81 persen mengalami pelecehan seksual dan kekerasan ketika bertugas.

Beberapa korban ada yang berani melaporkan kasusnya kepada pihak perusahaan ataupun kepolisian, namun tak jarang yang memilih bungkam karena beberapa alasan.

Menurut penuturan korban yang memilih tidak melaporkan kasusnya, keputusan untuk bungkam lebih dilatari karena kekhawatiran akan menjadi bahan ejekan atau bahan gunjingan oleh teman-teman sekantor, seperti yang pernah dialami kebanyakan korban kekerasan seksual pada umumnya.

Faktor lain adalah karena menganggap apa yang dialami sebagai risiko pekerjaan. Sebagian lagi memilih diam karena takut dan trauma.

Tindakan memilih diam karena takut dan trauma memang tak bisa disalahkan, namun juga tidak bisa dibenarkan. Ketika korban memilih diam, itu akan membiarkan pelaku tetap bebas dan memberi kesempatan pada pelaku untuk terus berkeliaran dan mencari korban berikutnya.

Diharap keberadaan posko pengaduan kasus kekerasan seksual untuk jurnalis dan pekerja media yang merupakan hasil kerja bareng Dewan Pers, Komnas Perempuan dan Aliansi Jurnalis Independen, bisa menjadi wadah yang tepat bagi pekerja media massa yang mengalami pelecehan seksual.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka