Melalui serikat pekerja, lanjut dia, jurnalis punya posisi tawar dalam setiap negosiasi atau sedang menghadapi kasus ketenagakerjaan. Pendirian serikat pekerja dapat diwujudkan dengan cara berserikat dengan media lain (serikat pekerja lintas media) sebagai alternatif jika resistensi perusahaan sangat kuat.

“Untuk itu, kami menyerukan kepada jurnalis dan seluruh pekerja media agar membentuk serikat di dalam perusahaan maupun bergabung dalam serikat pekerja lintas media. Berserikat sekarang atau celaka,” katanya.

Mini Survei yang dibuat AJI Jember pada September 2016 terhadap 17 jurnalis se-Jawa Timur menunjukkan 53 persen jurnalis masih berstatus kontrak, meskipun telah bekerja lebih dari 3 tahun dan 59 persen jurnalis tidak memiliki asuransi kesehatan dan keselamatan kerja.

Sedangkan di wilayah AJI Jember (Jember, Banyuwangi, Bondowoso) pada mini survei tahun 2015 menunjukkan 33 persen jurnalis media nasional masih berstatus kontrak dan tak memiliki perjanjian kerja.

Sementara 39 persen jurnalis media lokal memperoleh upah di bawah UMK dengan nilai Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan, sedangkan 44 persen jurnalis media nasional dan lokal tidak memiliki asuransi kesehatan dan keselamatan kerja dari perusahaannya.

“Untuk itu dalam peringatan ‘May Day’, kami menuntut kepada Dinas Tenaga Kerja dan Kementerian Tenaga Kerja untuk meningkatkan pengawasannya dan memberikan sanksi pada perusahaan media yang melanggar UU Ketenagakerjaan,” tegasnya.

Selain itu, AJI Jember juga mengimbau seluruh perusahaan media untuk memenuhi kewajiban mensejahterakan pekerja media sesuai UU Ketenagakerjaan, sehingga tidak ada lagi jurnalis yang menerima suap dari lembaga atau narasumber.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: