Boyke mengungkapkan sebesar 39 persen kontributor belum memperoleh Jaminan Sosial Nasional berupa BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan, dari jumlah itu, 44 persen tidak terlindungi karena mengaku tidak mampu membayar asuransi swasta secara mandiri.
Melihat upah rendah terhadap kalangan jurnalis, terutama mereka yang belum menyandang status pegawai tetap, tentunya membahayakan iklim kebebasan pers. Jurnalis rentan tergoda menerima atau meminta amplop atau gratifikasi pada narasumber.
Untuk itu, lanjutnya, AJI Pontianak sependapat bahwa upah yang rendah bukan alasan bagi jurnalis untuk menabrak Kode Etik Jurnalistik.
Kendati demikian upah dan tingkat kesejahteraan jurnalis tidak boleh dikesampingkan oleh perusahaan media, karena perbaikan kesejahteraan pekerja termasuk jurnalis, merupakan bagian dari perjuangan AJI demi menjaga kebebasan pers.
“Berdasarkan hal tersebut, dalam menyambut Hari Buruh 1 Mei 2017, AJI mengeluarkan pernyataan sikap untuk mendesak perusahaan media meningkatkan kesejahteraan jurnalis ditengah tambahan beban kerja akibat konvergensi media maupun ekspansi perusahaan,” katanya.
AJI Pontianak juga mendesak perusahaan media yang mempekerjakan kontributor, freelance maupun pekerja yang berstatus tidak tetap dengan standar kontrak kerja yang jelas dan upah yang jelas, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Selain itu, AJI mendesak pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melakukan audit ke perusahaan media terkait implementasi UU Nomor 13 th 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap jurnalis, terutama jurnalis di daerah.
“Kami juga mendesak Dinas Tenaga Kerja atau Instansi terkaIt di daerah untuk mengawasi praktik hubungan kerja perusahaan media serta mendukung pendirian serikat pekerja di tingkat perusahaan media/lintas media sesuai UU No. 21 Th 2000 tentang Serikat Pekerja, demi memberikan perlindungan pada jurnalis,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka