Kuala Lumpur, Aktual.com – Aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkapkan kemacetan pengungkapan kasus pembunuhan wartawan Udin Harian Bernas Yogyakarta saat diskusi dengan aktivis Malaysia di Petaling Jaya, Sabtu (21/5).

​​​​​Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani mengemukakan hal itu saat diskusi “Media Solidarity Awards 2022: Sembang Lintas Negara Tantangan Wartawan Melawan” yang diselenggarakan Center For Independent Journalism, Gerakan Media Merdeka (Geramm) dan AJI di The Biblio Cafe.

Diskusi juga menghadirkan Ketua AJI Surabaya, Eben Haezer yang juga wartawan Harian Surya Surabaya.

Pada kesempatan tersebut Shinta bercerita sebelum ke Malaysia, dia terlebih dahulu bertemu dengan istri Udin, Marsi.

“Sebelum ke Malaysia saya telah bertemu Mbak Marsi. Dia kecewa karena polisi gagal mengungkapkan pelaku pembunuhan Udin. Polisi semestinya mengakui saja kalau tidak mampu. Jangan diambangkan,” ujar Shinta menirukan Marsi.

Shinta mengatakan Udin merupakan keluarga biasa yang menghidupi dua anak.

“Saat ini Mbak Marsi berjualan makanan. Sudah menikah untuk melanjutkan kehidupan sehingga sekarang anaknya empat. Tujuh tahun kami sudah melakukan advokasi. Setiap tanggal 16 kami melakukan unjuk rasa. Ini bentuk perlawanan kami terhadap kasus Udin,” katanya.

Shinta mengatakan hal tersebut merupakan bentuk simbol terhadap hukum di Indonesia yang tidak berjalan dengan baik.

“Kami juga mengirim karangan bunga ke kantor polisi. Anak-anak muda banyak yang tidak kenal Udin. Generasi milenial banyak tidak kenal sehingga kami sering diskusi dengan anak-anak muda,” katanya.

Shinta mengatakan pihaknya juga bekerja sama dengan seniman dan membuat website Indonesiapena.info serta memamerkan poster-poster Udin.

“Kami saat ini terus kolaborasi dengan memamerkan karya-karya Udin pada Desember ini bersamaan Hari HAM. Kami juga diskusi dengan teman-teman kampus agar tidak menyerah sampai pembunuh Udin ketemu. Hasil donasi kami berikan ke istri Udin,” katanya.

Dia menceritakan saat ini wartawan tidak hanya mendapat serangan fisik namun juga digital.

“Saya mendapat serangan saat meliput konflik agraria. Didatangi kelompok-kelompok yang tidak suka. Diskusi LGBT dan komunis juga mendapatkan serangan. Udin penting karena dia jurnalis investigasi pertama saat Orba. Dia menulis isu korupsi. Kita perlu solidaritas kuat demi membela HAM demokrasi di Asia Tenggara,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
As'ad Syamsul Abidin