Selain itu, lanjut Wahyu, dalam pasal 82A juga dianggap janggal. Pasal yang mengatur sanksi pidana ini dianggap tak seharusnya ada. Sebab, berdasarkan pembentukan peraturan perundang-undangan, Perppu seharusnya tidak memuat ketentuan pidana.
“Ketentuan pidana hanya ada pada undang-undang dan peraturan daerah, karena harus dibahas bersama dengan lembaga perwakilan, sebagai representasi dari rakyat ketika melanggar perbuatan pidana.”
Sehingga hal tersebut dinilai sangat bertentangan dengan konstitusi, Aliansi Nusantara juga mendorong DPR untuk menolak pengesahan Perppu ini menjadi undang-undang.
“Bersamaan dengan uji materiil Perppu di Mahkamah Konstitusi, kami juga mendesak agar DPR dalam rapat paripurna menyatakan menolak dan tidak mendapatkan persetujuan atas Perppu tersebut.”
Sebelumnya, Hizbut Tahrir Indonesia juga melayangkan permohonan judicial review ke MK, Selasa 18 Juli 2017 lalu. Mereka menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum dalam gugatan tersebut.
Pihak HTI menganggap Perppu No 2 Tahun 2017 tentang ormas bertentangan dengan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seluruhnya. Sementara, Kementerian Hukum dan HAM sebelumnya juga telah mencabut Surat Keputusan badan hukum HTI.
[Fadlan Syiam Butho]
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu