Jakarta, Aktual.com — Kejaksaan Agung saat ini tengah mengorek kasus pembelian hak atas piutang (cessie), dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dilakukan PT Victoria Securities Indonesia pada tahun 2003.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Muradi menduga, apa yang dilakukan Kejagung dalam menelisik kasus tersebut memiliki maksud tertentu. Pasalnya, kasus yang saat ini dikorek oleh Kajagung bukanlah kasus baru.

“Kalau dilihat dari pertama ada unsur politik yang mau dituju. Karena kalau dilihat, saya agak ragu melihat data yang dimiliki Kejagung, apakah Kejaksan punya data baru?,” kata Muradi ketika berbincang dengan Aktual.com, Kamis (27/8).

Dia pun berpendapat, agar penegak hukum yang dikomandoi oleh Muhammad Prasetyo itu mendahulukan kasus yang saat ini terjadi, ketimbang harus mengorek luka lama.

“Apakah Kejagung sudah cakap dalam menangani kasus yang sudah ada saat ini. Kenapa kasus lama diproses, padahal di depan mata sudah ada,” kata dia.

Hal itu pun, lanjut dia, menjadi pertanyaan besar. Terlebih dalam penindakan kasus korupsi yang disasar Kejagung berimplikasi kepada ekonomi saat ini.

“Ada tiga hal yang menjadi pertanyaan lebih dalam. Pertama apakah kasus ini berimplikasi kepada ekonomi hari ini?,” kata dia.

Dia menilai, jika Kejagung dalam mengorek kasus ini hanya kepentingan politik, maka Kejagung disarankan agar berpikir ulang. Pasalnya, lanjut dia, kasus yang disasar Kejagung ini merupakan rangkaian dari kebijakan pemerintah saat Indonesia terjerat krisis moneter pada tahun 1998.

Dimana negara melalui BPPN dibawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, banyak memberikan diskon pada aset obligor yang berhutang kepada bank yang menjadi pasien BPPN.

“Kalau hanya sekedar hanya menggaduhkan politik, maka itu Kejaksan harus berpikir ulang,” ujar dia.

Dalam penelusuran dokumen diketahui kronologis pembelian aset beruapa tanah seluas 1.200 hektar di Karawang, Jawa Barat. Bermula dari hutang Adyaesta Group (AG) pada Bank Tabungan Negara (BTN) pada September 1995. Pinjaman tersebut diperuntukkan untuk proyek perumahan Karawang I dan II.

Namun pada perjalanannya proyek tersebut terhenti lantaran krisis ekonomi. BTN menjadi salah satu bank yang masuk sebagai pasien BPPN. Pada tahun 2002 pemerintahan Megawati menggelar lelang hak tagih atas hutang AG sebesar Rp 266.400.195.000. Lelang tersebut diikuti oleh tiga pihak yakni PT First Capital, Harita Kencana Secutities dan VSIC. Lelang tersebut dimenagkan oleh PT First Capital dengan penawaran Rp 69,5 miliar.

Setelah memenangkan lelang PT First Capital membatalkan pembelian. Alasanya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGU) No 1/Karanganyar seluas 300 hektar yang dijadikan jaminan hanya berupa fotocopy. Pasca pembatalan pembelian tersebut VSIC kembali melakukan penawaran tanggal 20 Agustus 2003.

Melalui surat notifikasi BPPN Nomor Prog-7207/BPPN/0903, tanggal 1 September 2003 VSIC diumumkan sebagai pemenang. Sepekan setelah diumumkan pihak VSIC langsung membayar kewajiban jual-beli dengan obyek hak tagih terhadap AG dengan nilai Rp 32 miliar. Perjanjian tersebut ditandatangani dalam Perjanjian Pengalihan Piutang No 57 didepan notaris Eliwaty Tjitra SH tanggal 17 November 2003.

Pembelian aset inilah yang kemudian dijadikan dasar Kejaksaan Agung melakukan penyidikan. Randahnya nilai jual pengalihan piutang dinilai merugikan negara oleh Kejaksaan Agung. Padahal jika merunut kebijakan pemerintahan Presiden Megawati kala itu memang memberikan diskon besar-besaran kepada siapa saja yang mau membeli aset dari obligor bermasalah.

Setidaknya ada sekitar 3.000-4.000 dengan status lengkap data kepemilikanya . Aset bermasalah itu diperkirakan berjumlah 2.400-3.400 aset. Total nilai aset saat ini mencapai ratusan triliun. Kondisi inilah yang membuat pasar tidak merespon positif lelang yang dilakukan BPPN. Sampai akhirnya muncullan ide untuk memberikan diskon.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby