Jakarta, aktual.com – Terdapat tiga syarat kegentingan yang memaksa Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Sedangkan saat ini Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi tidak masuk dalam syarat itu. Hal tersebut menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009.

“Pertama, adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara berdasarkan UU,” ujar Kusnanto Anggoro, akademisi Universitas Indonesia dan Universitas Pertahanan kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/10).

Kedua, sambung Kusnanto, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU yang ada tidak memadai. Kemudian ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama.

“Sedangkan keadaan mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan,” tandasnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Risk Studies itu menjelaskan, posisi UU KPK sendiri tidak berada dalam tiga situasi tersebut. Terutama upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhenti dengan adanya UU KPK dan tidak terjadi kekosongan hukum, sehingga tidak ada urgensi mengeluarkan Perppu.

Negara, kata dia, tetap menjalankan kewajibannya untuk memberantas korupsi dengan tiga instrumen penegak hukum yaitu KPK, Polri dan Kejaksaan. “Masalahnya adalah sekarang kita harus memilih pimpinan KPK yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat agar tidak mudah diintervensi dan tidak mudah dijadikan alat oleh kekuatan lain di luar KPK,” imbuhnya.

Kusnanto menyadari Jokowi pernah mengeluarkan Perppu Ormas pada 2017. Namun, saat itu Jokowi dalam keadaan kegentingan yang memaksa karena ada ancaman terhadap eksistensi Pancasila oleh ormas radikal.

“UU Ormas yang ada membuat posisi negara sangat lemah ketika berhadapan dengan ormas radikal, negara tidak bisa serta-merta mencabut status badan hukum ormas radikal. Karena itu UU Ormas harus direvisi melalui Perppu karena melalui proses legislasi sangat lama dan belum tentu berhasil,” jelasnya.

Di samping itu, usia UU KPK sudah 17 tahun berjalan sehingga wajar saat ini perlu dilakukan revisi dalam rangka memperkuat kelembagaan dan personalia yang memimpin KPK. Misalnya saja saat ini dalam UU KPK disebutkan bahwa KPK perlu diawasi oleh sebuah Badan Pengawas. Hal itu bertujuan agar KPK tidak sewenang-wenang dalam menjalankan fungsinya. Selain itu, adanya SP3 juga memenuhi prinsip akan hak asasi manusia.

“Jelaslah sudah bahwa Perppu tidak cukup beralasan untuk menolak revisi UU KPK. Karenanya biarkan berlaku terlebih dahulu baru kemudian direvisi melalui judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi,” tandas Kurnanto.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin