Jakarta, Aktual.com — Sejumlah tokoh dan akademisi dari Maluku kembali meminta pemerintah memutuskan pembangunan kilang Blok Masela di darat, bukan terapung di laut.

“Semua elemen di Maluku, mulai dari rakyat, pemuda, akademisi, birokrat dan tokoh Maluku mendukung pembangunan kilang di darat. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla dipastikan mendukung kilang di darat, karena Wapres Kalla juga tokoh perdamaian Maluku,” kata akademisi dari Maluku Dr Sujud Sirajuddin di Jakarta, Jumat (26/2) petang.

Dirinya mempertanyakan masih ada pihak yang menginginkan pembangunan kilang di laut, padahal semua eleman masyarakat Maluku menginginkannya di darat.

“Sangat mengherankan, ketika semua orang mendukung pembangunan di darat, tetapi seolah memiliki agenda sendiri,” katanya.

Sujud Sirajudin mengatakan, kalau orang Maluku ditanyai pasti ingin ada di darat, karena itu yang terbaik. Semestinya, orang Maluku yang ada di pemerintahan, DPR dan DPD RI bisa menyuarakan keinginan rakyat di Maluku.

“Kita juga belum dengar suara dari Pak Wapres Jusuf Kalla karena beliau merupakan representasi orang Indonesia Timur. Beliau juga tokoh perdamaian Maluku dan warga istimewa Kota Ambon, tetapi ketika rakyat Maluku memperjuangkan untuk memperbaiki kesejahteraan melalui Blok Masela, justru beliau belum bersuara. Kita minta Pak Wapres untuk mendorong kilang ini dibangun di darat. Dalam situasi seperti ini semestinya beliau hadir,” kata Sujud Sirajudin.

Sementara itu, Abraham Tulalessy mengatakan, pihaknya sudah menyuarakan hal ini dalam berbagai kesempatan, tetapi tidak tahu apa yang mengganjal pemerintah. Menurut dia, biaya pembangunan kilang itu diambil dari “cost recovery” sehingga kontraktor dan pengelola hanya mengikuti kemauan pemilik gas.

“Ini kan sama dengan kita yang bangun, karena nanti semua biaya diganti. Jadi, yang menentukan itu pemilik, bukan pengelola. Ini juga akan membuktikan keberpihakan Presiden Jokowi kepada rakyat,” katanya.

Dia mengatakan, wilayah laut Maluku jangan dibatasi karena secara hukum adat, wilayah laut memiliki petuanan. Untuk itu, sangat mengherankan, ketika Maluku hanya memiliki 12 mil dari laut.

Bagi Maluku, kata dia, pembangunan kilang di darat merupakan harga yang tidak bisa ditawar. “Dari pada dibangun di laut, lebih baik di darat. Kami juga ingin sejahtera dengan kekayaan yang ada di Maluku. Ironis, Maluku yang kaya tetapi jadi provinsi termiskin,” katanya.

Heintje Hitalessy mengatakan, realitas di Maluku menunjukkan mulai dari anak muda sampai akademisi dan tokoh masyarakat menghendaki dibangun di darat, tetapi seolah ada kepentingan yang lebih kuat dibanding kepentingan rakyat yang menyebabkan keinginan rakyat itu tidak diakomodir.

“Kami hanya mau tanya sebenarnya apa mau ditutupi di Maluku. Apa kemauan rakyat sudah tidak didengar? Hormati dan hargai keinginan orang Maluku yang ingin lebih baik dengan kekayaan alam yang ada,” katanya.

Dia mengingatkan, keberadaan Blok Masela bukan hanya untuk Maluku, tetapi semua provinsi di kawasan timur akan memperoleh pengaruh ekonomi. Untuk itu, Heintje mengajak semua untuk bersolidaritas dalam Blok Masela ini. Dengan sikap dari seluruh komponen di Maluku, maka tidak ada jalan lain, kecuali membangun kilang di darat.

Elsye Mailoa mengingatkan agar Maluku belajar dari persoalan Freeport di Papua. Meski kekayaan alam sudah dikeruk, tetapi masyarakat Papua tidak memperoleh hak yang semestinya. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali harus terus menyuarakan agar keberadaan Blok Masela benar-benar membawa manfaat bagi rakyat di Maluku.

Sementara itu, Servas Pandur melihat ada gejala, di mana semua cadangan gas di kawasan timur mau menggunakan kilang terapung. Menurut dia, keberadaan sumber gas di laut dalam seolah menjadi pembenar untuk menggunakan kilang terapung. Padahal, masyarakat sekitar kurang mendapat manfaat dari sistem seperti itu.

Untuk itu, kata Servas, semua kelompok di Indonesia timur harus menyatukan sikap agar sumber gas di kawasan timur dikelola dengan membangun kilang di darat.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka