Jakarta, Aktual.com — Pemasukan devisa dari sektor pariwisata cukup tinggi, diprediksi di tahun 2019 akan mengalahkan devisa dari sektor minyak dan gas (migas). Hingga akhir 2014, devisa yang diterima kas negara dari sektor pariwisata cukup besar mencapai Rp155 triliun, atau 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Dengan angka seperti itu, berarti penghasilan devisa dari sektor pariwisata berada di posisi ke empat,” tutur guru besar ekonomi makro dari Universitas Bunda Mulia, Ratlan Pardede saat diskusi UBM Corner, di Jakarta, Senin (11/4).

Namun, pencapaian yang seperti itu bisa saja dapat menurun, jika pemerintah tidak memperbaiki pertumbuham infrastruktur sektor pariwisata tersebut.

“Kondisi infrastruktur kita sangat rendah. Saya contohkan, di salah satu lokasi wisata di Danau Toba, Sumatera Utara, kondisinya bagus, tapi untuk mencari tempat buang air saja susah,” kata Ratlan.

Padahal pemerintah menargetkan hingga 2019 nanti, penerimaan negara dari devisa sektor pariwisata mencapai Rp240 triliun di 2019. Yang artinya mencapai 8 persen dari PDB.

“Tapi jika pemerintah pusat dan daerah tidak berbenah, maka susah untuk tercapai target itu,” tegas dia.

Selain infrastruktur, imbuh Ratlan, masalah harmonisasi aturan juga penting. Selama sinkronisasi dan harmonisasi aturan antara pemerintah pusat dan daerah masih lemah. Padahal aturan yang sinkron itu dibutuhkan para pelaku usaha di sektor pariwisata.

“Jika lagi-lagi permasalahan itu tidak teratasi, maka akan susah untuk mencapai devisa yang besar dan jumlah wisman yang besar,” papar dia.

Seperti diketahui, pemerintah memang menargetkan kunjungan wisman di 2019 mencapai 20 juta. Dan saat ini masih sebesar 10,41 juta.

Untuk itu ke depan, pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan sektor komoditas seperti migas yang semakin tahun akan berkurang.

“Migas akan terus turun. Apalagi asumsi makro kita lifting-nya 830 ribu barel per hari. Itu berat. Saat ini harganya USD40,41 per barel. Sementara asumsi makro kita sebesar USD50 juta per barel,” tutur dia.

Dengan kondisi seperti itu, maka sangat mungkin beban APBN akan semakin berat. “Makanya bisa mendongkrak devisa itu dari sektor pariwisatanya,” pungkas dia.

Di tempat yang sama, Asisten Deputi Pengembangan Segemen Pasar Bisnis dan Pariwisata Nusantara, Kementerian Pariwisata, Tazbir Abdullah menambahkan, untuk mengembangkan pariwisata dari mulai Presiden sampai pimpinan tingkat daerah harus satu pemikiran.

Namun demikian, yang terjadi selama ini, lain daerah lain kebijakan. Banyak daerah yang melihat kebijakan di pariwisata itu penting.

“Karena mereka masih bangga dengan banyaknya SDA minyak, batubara, kayu, dan lainnya. Sehingga melupakan pengembangan pariwisata,” tegas Tazbir.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka