Jakarta, Aktual.com – Kekisruhan soal kasus dugaan ‘papa minta saham’ PT. Freeport Indonesia dalam perpanjangan kontrak karya yang akan berakhir pada 2021, justru membuka tabir persekongkolan antara elit pemerintah dengan perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
Demikian disampaikan mantan anggota Tim Anti-Mafia Migas, Fahmy Radhi dalam acara diskusi bertajuk ‘Keniscayaan Nasionalisasi Dibalik Sengkarut Freeport’, di Jakarta, Minggu (13/12).
“Bila dilihat dalam sejarah keberadaan PT. Freeport di Indonesia sudah ada persekongkolan sejak awal di tahun 1967, dimana Indonesia hanya mendapatkan royalti 1 persen berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing saat itu,” kata Fahmy.
“Bahwa persekongkolan saat ini terkuak soal SN (Setya Novanto) ini hanya mengkonfirmasi persekongkolan yang sudah ada sejak awal (dulu),” tambah dosen UGM itu.
Seharusnya, sambung dia, pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini memiliki kekuatan untuk tidak lagi memperpanjangan kontrak karya PT. Freeport, dengan mengembalikan ketentuan konstitusi yang mengatur kekayaan alam Indonesia diberikan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Justru, kata dia, terlihat posisi Indonesia yang dibutuhkan dalam kancah perpolitikan Internasional, namun disisi lain posisi Indonesia diperlemahkan.
“Kalau kita ambil 2021, maka kita tidak bisa dibawa ke arbitase Internasional, karena kontrak sudah habis. Termasuk tidak ada alasan bagi AS untuk mengerahkan pasukannya ke Indonesia yang saat ini berada di Darwin (Australia). Itu hanya menggiring opini pembentukan ketakutan masyarakat dengan ancaman yang busuk dilakukan AS itu,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang