Semarang, Aktual.com – Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Gunawan Witjaksana, memandang perlu ada aturan yang melarang politikus mengelola media dalam Undang-Undang tentang Penyiaran.
“Telah tiba waktunya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang memuat ketentuan melarang politikus mengelola media,” kata Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. di Semarang, Sabtu (13/5).
Gunawan mengemukakan hal itu terkait dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memberikan sanksi teguran tertulis kepada empat stasiun televisi (RCTI, Global TV, I-News, dan MNC TV).
Sebelumnya, KPI mengeluarkan surat edaran yang menyangkut pelarangan penayangan iklan politik di luar masa kampanye. Namun, stasiun televisi tersebut mengabaikannya sehingga KPI memberikan sanksi kepada mereka.
Menurut Gunawan, bila mereka berdalih tidak ada dalam struktur manajemen pengelolanya, sangatlah sulit menghindarkan faktor sosiologi media (media organizer yang di dalamnya tidak lepas dari owners) yang akan berpengaruh pada produksi siarannya.
Setiap media penyiaran, termasuk televisi, lanjut Gunawan, pada hakikatnya oleh Negara dipinjami frekuensi milik publik melalui izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
Oleh karena itu, sebagai peminjam frekuensi sesuai dengan aturan yang ada serta amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang menyebut bahwa bumi dan kekayaan alam dikelola oleh Negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, kata Gunawan, haruslah menghayatinya secara benar.
Dengan cara itu, menurut dia, pengelola televisi tentu akan berpikir seribu kali manakala akan menggunakan frekuensi yang bertentangan dengan keinginan rakyat, bahkan terkesan mengakali rakyat, antara lain, melalui tayangan kampanye yang dari sisi ilmu komunikasi jelas memanfaatkan Teori Dramatisme yang penuh dengan metafora “theatrical”, alias akting.
“Seolah tidak ada yang salah bila televisi untuk media kampanye, termasuk kampanye politik. Toh, iklan produk pun merupakan kampanye,” ujarnya.
Namun, lanjut dia, yang perlu diingat bahwa kampanye politik, termasuk menggunakan iklan televisi, tentu ada syarat serta aturan-aturannya.
Diakuinya, di sisi lain pemasang iklan politik pun bisa saja berkelit, misalnya dengan dalih UU Pemilu terkait dengan kampanye.
“Melalui dalih tersebut, tentu tayangan mereka tidak bisa disebut kampanye karena memang belum ada proses apa pun terkait dengan pemilu,” kata Gunawan.
Namun, dari sisi komunikasi, penayangan mars sebuah parpol, menurut dia, merupakan sebuah kampanye.
“Setidaknya orang menjadi tahu. Dengan kepiawaian si pembuat iklan, mereka juga bisa berubah sikap serta perilakunya,” kata Ketua STIKom Semarang Gunawan Witjaksana.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: