Jakarta, Aktual.co — Wacana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan menuai pro dan kontra. Pasalnya dalam PP 99/2012 memang terdapat aturan mengenai pengetatan remisi terhadap narapidana kejahatan khusus, yaitu kasus korupsi, terorisme, dan narkotika. 
Namun pada pasal 34 B dijelaskan, remisi diberikan menteri setelah mendapatkan pertimbangan tertulis dari menteri dan pimpinan lembaga terkait. Artinya, apabila narapidana itu terkait kasus korupsi, lembaga terkait yang dimaksud adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal inilah yang dinilai bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.  
“Kalau kita mengacu pada pelaksananya itu kepada hakim, dalam hal ini penuntut umum, maka persetujuan untuk memberikan remisi tidak lagi di penuntut hukum, sudah limit waktunya. Sama saja orang menyidik kemudian diprotes,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir ketika berbincang dengan Aktual.co, Senin (23/3).
Dia berharap, dalam hal ini KPK tak mencampur adukan antara remisi dan pelaksanaan hukum. Pasalnya dalam hal ini tugas penegak hukum sudah selesai. “Kembali lagi, penuntutan sampai putusan sudah di penegak hukum. Dalam hal ini hakim hanya melaksanakan, mengawasi dan minta persetujuan, jangan dibolak-balik ini,” ujar dia.
Dia berharap, penegak hukum tak ada motif dendam dalam menegakkan keadilan. Terlebih hanya mengedepankan putusan yang lebih tinggi bagi terpidana koruptor. “Kalau di KPK selama ini dipenjara lebih lama lebih bagus. Tapi yang lain tidak. Beri sarana dia bertaubat. Menurut saya kalau KPK balas dema itu namanya anti pancasila.”
Seperti yang diketahui wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan disebut telah diketahui DPR. Meski tidak perlu mendapatkan persetujuan DPR, rencana revisi PP 99/2012 didukung DPR. 
“Itu waktu raker (rapat kerja) lalu (DPR dukung revisi PP),” kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Minggu (22/3). 
Dia menyatakan bahwa PP 99/2012 memang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan. “Pasti (bertentangan) kalau dilekatkan,” ujarnya. 
Dia mengingatkan kembali bahwa revisi PP 99/2012 masih bersifat wacana. “Ini masih wacana tapi bergulir terus ini. Peradi mau bikin diskusi, beberapa kampus juga mau bikin diskusi,” ucap mantan Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Dalam PP 99/2012 memang terdapat aturan mengenai pengetatan remisi terhadap narapidana kejahatan khusus, yaitu kasus korupsi, terorisme, dan narkotika. 
Pada Pasal 34 B dijelaskan, remisi diberikan menteri setelah mendapatkan pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait. Artinya, apabila narapidana itu terkait kasus korupsi, lembaga terkait yang dimaksud adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal inilah yang dinilai bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.  

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby