Hal itu, kata Bivitri, seperti kasus anggota TNI yang menurunkan spanduk dan baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) disejumlah tempat.
“Seperti yang terbaru soal penurunan spanduk HRS oleh militer. Selain itu faktor sejarah panjang yang kelam soal dominasi peran militer dalam urusan sipil juga masih menjadi catatan di tengah masyarakat,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Totok Yulianto mengatakan, perlu kebijakan yang komprehensif dalam penanganan terorisme. Tidak hanya bidang hukum, melainkan juga ekonomi, politik dan sosial.
“Apakah pendekatan penanganan terorisme di Indonesia akan bergeser dari criminal justice system menjadi war model? Ini sangat tergantung pada rancangan perpres yang saat ini menjadi perhatian publik,” kata Totok.
Oleh karena itu, kata Totok, Presiden Joko Widodo dan DPR perlu mendengar masukan dari masyarakat untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan penanganan terorisme di Indonesia.
Lalu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga mengatakan, bahwa saat ini pelibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme tidak hanya sebatas supporting terhadap pelaku terorisme melainkan sudah menjadi pelaku.
Saat ini, sambung Siti, para kelompok ekstrimisme sudah sangat menyasar pada kelompok perempuan. Karena itu sudah seharusnya dilakukan pencegahan secara konferhensif. Ia juga meragukan apakah peranan dari Perpres yang dibuat tersebut dalam konteks penangkalan atau pencegahan dapat dilakukan dengan maksimal.
“Pertanyaannya apakah TNI memiliki kemampuan itu, apakah itu tidak menyebabkan tumpang tindih dengan pencegahan penanggulangan terorisme juga, apakah untuk penangkalan ini harus TNI,” ujarnya.
Kemudian lanjut dia, terkait penindakan dalam Perpres itu Siti menilai ada keleluasaan kewenangan untuk dilakukan penyelidikan namun hal itu tidak seshai dengan sistem peradilan di Indonesia.
“Kemudian untuk pemulihan pertanyaan saya pemulihan yang dimaksud dalam Perpres ini seperti apa, karena bicara pemulihan berarti tidak hanya bicara kepada para tersangka atau pelaku tapi juga bagaimana mengintegrasikan dengan warga lain menghilangkan stigmatiasasi sehingga menghilangkan faktor penarik dan pendukungnya,” ujarnya.
“Apakah itu bisa dilakukan TNI karena pendekatan penangkalan pemulihan itu membutuhkan pendekatan non-keamanan,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid