Jakarta, aktual.com – Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saipudin Jahar menilai usulan kenaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) menjadi sekitar Rp 69,2 juta, sangat rasional dan tepat. Kenaikan ini, menurutnya, juga menjadi upaya untuk menghindari jebakan skema ponzi.
Asep pun menjelaskan pemberian nilai manfaat (NM) dana jamaah haji dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Misalnya, pada tahun 2010, nilai manfaat yang diberikan hanya Rp4,5 juta, sementara tahun 2014 sudah mencapai Rp19,24 juta.
”Ini mustahil. Inilah yang menjadi kekhawatirannya sehingga kecenderungan skema ponzi dalam penggunaan nilai manfaat dana haji. Tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan skema Ponzi, karena ada unsur ketidakadilan dan berbahaya untuk jangka panjang,” kata dia dalam keterangan pers yang dikutip Selasa (24/1) pagi.
Asep pun menegaskan penyesuaian komposisi Bipih dan Nilai Manfaat dalam BPIH menjadi penting. Tujuannya supaya biaya untuk berhaji lebih berkeadilan dan proporsional.
Asep kembali mengingatkan publik soal kasus yang menimpa calon jemaah umrah First Travel. Harga murah yang ditawarkan First Travel, kata dia, ternyata karena perusahaan mempraktikkan skema Ponzi dalam pengaturan uang jemaahnya.
Seperti diketahui, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 1444 H/2023 M rata-rata per jemaah sebesar Rp 69.193.733,60. Angka ini naik jika dibandingkan dengan Bipih 2022 M yang rerata berada pada kisaran Rp39 juta.
Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan
Ibadah Haji. Bipih merupakan salah satu komponen dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Komponen pembiayaan lainnya bersumber dari nilai manfaat. Yaitu, dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. Pengembangan keuangan ini dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Artikel ini ditulis oleh:
Editor: Megel Jekson