Ilustrasi AI chatgpt

Jakarta, Aktual.com – Wacana reformulasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terus mengemuka di tengah kritik terhadap mahalnya biaya politik dan maraknya praktik politik uang. Akademisi sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, mengusulkan konsep Pilkada jalan tengah sebagai solusi alternatif.

Didik menjelaskan, skema Pilkada jalan tengah merupakan inovasi metode campuran yang dilaksanakan melalui dua tahap. Tahap pertama bersifat elektoral, yakni rakyat memilih anggota DPRD dalam pemilihan legislatif (pileg). Tiga calon anggota DPRD dengan perolehan suara tertinggi di suatu daerah otomatis menjadi kandidat kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota.

Tahap kedua bersifat institusional. Setelah DPRD terbentuk, lembaga perwakilan tersebut memilih satu dari tiga kandidat untuk ditetapkan sebagai kepala daerah.

“Kelebihan pilkada metode campuran adalah tetap menjaga unsur kedaulatan rakyat karena legitimasi elektoral diperoleh melalui pileg. Kandidat kepala daerah bukan hasil lobi elite semata, tetapi memiliki suara rakyat yang nyata,” ujar Didik dalam keterangan tertulis, Rabu (31/12/2025).

Menurutnya, model ini bukanlah kemunduran demokrasi seperti pada era Orde Baru, melainkan bentuk demokrasi berlapis (two-step legitimacy). “Metode ini dirancang untuk menghindari pilkada langsung yang selama ini tercemar politik uang,” tegasnya.

Didik menilai, Pilkada langsung telah memicu biaya kampanye yang sangat mahal dan membuka ruang praktik ilegal. “Yang terjadi adalah pelacuran politik. Kandidat dengan modal besar membeli suara, lalu setelah terpilih berupaya mengembalikan modal melalui korupsi dan ketergantungan pada cukong,” ujarnya.

Dengan metode jalan tengah, lanjut Didik, tidak ada kampanye pilkada yang terpisah dan mahal. “Efek pentingnya adalah mengurangi insentif balik modal setelah menjabat,” kata dia.

Meski demikian, ia mengakui skema ini juga memiliki kelemahan. Risiko transaksi politik di DPRD tetap terbuka, mulai dari lobi tertutup hingga barter jabatan antarfraksi.

“Risiko oligarki dan cukong tidak hilang, hanya berpindah arena. Kualitas DPRD menjadi kunci. Jika DPRD korup dan aturan main lemah, sistem apa pun tidak akan bermakna,” paparnya.

Untuk itu, Didik mengusulkan pengawasan ketat dalam pemilihan tahap kedua. Mulai dari pemungutan suara terbuka dan disiarkan ke publik, larangan keras transaksi politik, uji publik rekam jejak kandidat, hingga sanksi pidana berat bagi pelaku suap.

“Kehadiran lembaga penegak hukum seperti KPK dan kejaksaan sangat penting. Dengan mengontrol pemilik suara yang terbatas, potensi politik uang dan korupsi pasca-terpilih dapat ditekan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi