Jakarta, Aktual.com – Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama dengan Asosiasi Pertambangan Indonesia, mengusulkan perbaikan terhadap UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
“Implementasinya telah menimbulkan banyak masalah dalam pengelolaan sumber daya alam tambang, asas-asas penyusunan peraturan serta perundangan juga tidak mengikuti UU No. 12 Tahun 2011,” kata Akademisi dari Fakultas Hukum UI Tri Hayati dalam diskusi peraturan pertambangan di Jakarta, Kamis (10/12) malam.
Beberapa usul dalam bentuk bab tersebut antara lain, mempekuat makna pasal 33 ayat (3) UUD 1945, kemudian bentuk pengusahaan pertambangan menggunakan konsesi, penggolongan bahan galian, penguatan peran negara, harmonisasi hubungan pusat dan daerah serta sinkronisasi peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, pengaturan terhadap pemurnian, perubahan tata ruang horizontal menjadi vertikal, perubahan definisi wilayah pertambangan dan luasan izin konsesi pertambangan. Yang terkahir adalah usulan perbaikan dalam bentuk bab.
Akibat dari tidak mengikuti asas UU No. 12 tahun 2011 adalah sistem perizinan IUP yang diberikan kepada kepala daerah telah mereduksi penguasaan negara terhadap sumber daya alam dan tidak digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Selain itu, hilangnya penggolongan sumber daya alam tambang, yang berakibat pada eksploitasi yang berlebihan serta mengancam ketersediaan sumber daya alam. Dampak buruk terhadap lingkungan juga semakin besar, perdagangan IUP semakin banyak terjadi.
Peran dari Kementerian ESDM menjadi hilang sebagai prinsipal tambang, hal ini mengakibatkan hubungan antara pusat dan daerah menjadi rancu.
“Dengan alasan-alasan itu maka kepastian hukum juga perlu untuk membentuk perundang-undangan di sektor Minerba,” katanya.
Salah satu usul subtansinya adalah menyarankan pemerintah memperjelas dari definisi aturan wilayah pertambangan dan luasan izin konsesi pertambangan.
“Perlu ada definisi ulang dari pasal 1 angka 29 UU No 4 Tahun 2009, yang mengatur wilayah pertambangan Indonesia,” katanya.
Pasal tersebut menyatakan wilayah pertambangan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki potensi mineral dan atau batubara dan tidak terikat dengan batasan adminitrasi pemerintah yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
Dengan amendemen ini, ia menyarankan pada pasal 1 angka 29 tersebut perlu diubah menjadi “Wilayah hukum pertambangan Indonesia : seluruh kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan Indonesia dan paparan benua (Continental Shelf) kepulauan Indonesia.” Selain itu, luasan konsesi wilayah pertambangan harus disesuaikan dengan skala ekonomi pertambangan tertentu, sehingga pengelolaan dan pengusahaan pertambangan dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ia menyimpulkan, keberadaan potensi galian tambang memerlukan eksplorasi yang lama dan biaya besar, sehingga wilayah pertambangan tidak dapat ditentukan seketika.
Kemudian, penerapan skala ekonomi demi menampung biaya penyelamatan lingkungan dan kepedulian terhadap masyarakat sekitar tambang.
Artikel ini ditulis oleh: