Jakarta, Aktual.co — Salah satu topik panas di Departemen Keuangan di Asia akhir-akhit ini adalah pengumuman rencana Tiongkok membuat lembaga pengembangan baru yang bernama Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
Seperti yang dikatakan mantan Direktur Jenderal Bidang Operasi Swasta Bank Pembangunan Asia Robert Bestani, Dilansir dari Businessspectartor, Yang menarik dari lembaga baru ini adalah dukungan politik Tiongkok. Pengumuman AIIB dilakukan pemimpin Tiongkok XI Jinping pada pertemuan tahunan APEC di Bali tahun lalu.
Setelah itu, banyak spekulasi mengenai siapa yang bergabung, yang diundang untuk bergabung dan siapa yang tidak diundang untuk bergabung. Pada saat yang sama, ada diskusi tentang maksud sebenarnya dari AIIB, dengan banyak spekulasi bahwa tujuan dari bank baru tersebut untuk menantang keunggulan Jepang dengan Bank Pembangunan Asia di Manila.
Tantangan ke Jepang tak diragukan sebagai esensi dari semua perusahaan multinasional yang bersifat politis. Sebagai mesin politik untuk mengendalikan pembangunan. Dengan demikian, semua negara yang membentuk ADB diundang untuk bergabung dengan AIIB, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan dan India.
Persepsi yang populer tampaknya AS mencoba untuk menghadang AIIB. Namun tampaknya tak mungkin, karena bagaimana mungkin ada keberatan ketika ada penawaran uang murah bagi negara berkembang, yang jelas mereka butuhkan.
Kebenaran dari masalah ini adalah mungkin Obama tak bisa membujuk kongres mendanai organisasi multinasional lain yang baru. bahkan, AS ada tunggakan setoran modal ke ADB.
Pada saat yang sama, jika AS tak mendukung AIIB, akan mengganggu sekutu mereka yang paling penting pada saat mereka membutuhkan Jepang sebagai penyeimbang geopolitik alami ke Tiongkok. Selain itu, salah satu peran penting ADB sebagai jembatan politik antara Jepang dan negara Asia lainnya.
Untuk negara Asia, sulit untuk abstain bergabung, terutama ketika mereka menawarkan uang dan bantuan pembangunan.
Untuk menjadi sukses sebagai lembaga politik, AIIB harus sukses sebagai institusi pembangunan. Agar AIIB sukses, Tiongkok, sebagai pemimpin bank, perlu advokat untuk sesuatu yang tak dikenal, menekankan pemerintah yang baik.
Akhir-akhir ini banyak pembicaraan tentang kebutuhan infrastruktur di Asia dan jumlah modal yang akan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Estimasi ADB saat ini menunjukkan bahwa Asia akan membutuhkan 8 triliun dollar pada infrastruktur nasional dan 290.000.000.000 dollar untuk infrastruktur daerah pada 2020 demi mempertahankan lintasan pertumbuhan di kawasan itu.
Dalam AIIB, konsensus target awal adalah sekitar 100 miliar dollar untuk modal baru dan semua menyambut gagaasan AIIB.
Masalah sebenarnya bukan berapa banyak dana yang tersedia. Pada ADB kita tak pernah menolak transaksi infrastruktur karena kekurangan dana. Biasanya untuk ketiadaan proyek yang baik dan karena negara yang tidak siap terhadap program infrastruktur.
Dalam rangka menarik sektor swasta untuk meningkatkan investasi dalam proyek infrastruktur jangka panjang, negara Asia harus terlebih dahulu memperbaiki rezim pemerintahannya. Aturan hukum, regulator independen dan peradilan, prediktabilitas, politik bersih, stabilitas politik, dan semua elemen penting sebagai sesuatu yang kompetitif untuk modal swasta.
Sampai tingkat yang terbatas ADB memahami hal ini dan telah menjadi elemen penting dalam keberhasilan operasi sektor swasta selama belasan tahun terakhir. Pertanyaan sebenarnya apakah tiongkok dapat menekan isu pemerintahan ketika mereka sendiri tak dapat dijadikan model transparansi.
Jika tiongkok bisa membawa dirinya menekan tata kelola sebagai persyaratan penting pembangunan, AIIB akan menjadi sukses. Mereka (Tiongkok) mengaku berkomitmen untuk melakukannya. Namun jika tidak, AIIB akan sekedar menjadi perjudian yang memalukan bagi kepentingan komersial Tiongkok sendiri.
Dengan visibilitas dan kredibilitas Xi Jinping, ini akan menjadi menarik untuk disaksikan.
Artikel ini ditulis oleh: