Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin memberikan keterangan saat sidang etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/12). Maroef Sjamsoeddin menjadi saksi dalam sidang etik MKD DPR terkait rekaman pertemuannya dengan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha M. Riza Chalid, terutama adanya dugaan permintaan saham kepada PT Freeport Indonesia. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww/15. *** Local Caption ***

Jakarta, Aktual.com — Polemik soal legalitas alat bukti dalam kasus dugaan papa minta saham PT Freeport dengan mencatut nama presiden dan wakil presiden terus menjadi pro kontra, terlebih diinternal mahkamah kehormatan dewan (MKD) DPR RI itu sendiri.

Hal itu menyusul nota pembelaan Ketua DPR Setya Novanto selaku teradu yang mengatakan bahwa rekaman percakapan yang menjadi alat bukti oleh MKD adalah ilegal. Pasalnya, rekaman percakapan itu dilakukan bukan orang yang berwenang yakni Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa alat bukti hukum didapatkan secara ilegal maka yang akan terjadi adalah anarkisme dimana akhirnya hukum tidak berlaku.

Karena itu, menjadi sangat penting sebuah alat bukti didapatkan juga melalui proses hukum yang benar.

“Kalau seperti kasus ‘Papa Minta Saham’ rekamanya yang dilakukan pihak Freeport bisa dijadikan alat bukti hukum, yang akan terjadi adalah kekacauan hukum. Siapapun bisa merekam pembicaraan apapun dan kemudian dijadikan alat bukti. Maka ini tinggal tunggu saja waktu terjadi anarkisme, dimana hukum tidak akan berlaku lagi,” kata Asep, saat dihubungi, Rabu (9/12).

Asep berpandangan, publik boleh saja tidak menyukai perilaku para politisi terlebih pada Setya Novanto, akan tetapi, sambung Asep, hukum tetap harus dijalankan sesuai koridornya. Tidak boleh karena rasa kebencian atau ketidaksukaan pada Setya Novanto melegalkan sesuatu yang dilarang. Jika ini yang terjadi maka tinggal tunggu waktu saja, masyarakat sendiri yang akan menjadi korban.

“Kalau pengusaha boleh merekam hal seperti ini terhadap ketua DPR, apa kira-kira yang sanggup dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat yang tidak disukainya? Semua orang bisa dijebak. Jangankan oleh penguasa, oleh kawan sendiri atau saudara sendiri pun, masyarakat bisa dijebak. Kalau memang Setya Novanto dianggap melanggar hukum, maka semua juga harus dilakukan dengan proses hukum yang benar,” ucapnya.

Asep pun memberikan contoh jika satu saat seseorang menjadi pejabat dan ketika dia menjabat datang seorang kawan yang minta bantuan agar proposal proyeknya di tempat pejabat yang bersangkutan di golkan. Lantaran, sifat ketimurannya dan berbasa basi, si pejabat mengiyakan permintaan temannya.Tanpa sepengetahuan si pejabat, temennya tersebut merekam pembicaraan hal itu.

“Ketika janji basa basi itu tidak direalisasikan, sang teman pun marah dan kemudian melalui pihak ketiga membongkar rekaman tersebut dengan tuduhan bahwa sang pejabat wan prestasi atau malah dituduh menjanjikan sesuatu yang masuk ranah korupsi. Orang kan tidak tahu, bahwa pejabat itu hanya basa basi ketika menjanjikannya,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang