Jakarta, Aktual.co — Visi Menteri Rini Soemarno dalam mengelola BUMN adalah ancaman terbesar bagi kedaualatan negara.

Dia akan menjadikan BUMN sebagai alat untuk mengakumulasi keuntungan dengan cara, pertama, menumpuk utang luar negeri. Kedua, melakukan privatisasi BUMN lewat bursa saham. Dan yang ketiga, menumpuk utang dengan melakuk listed utang /refinancing.

Ditengah derasnya penolakan publik terhadap privatisasi BUMN, Rini Soemarno tidak ragu ragu melakukan deal-deal tertutup dengan bank-bank pembiayaan internasional dalam rangka memperoleh utang luar negeri.

Salah satunya adalah penandatangan kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian BUMN dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT PLN, dan China International Fund (CIF) yang berlangsung tertutup. BUMN strategis ini hendak dijual ke lembaga keuangan internasional dalam rangka memobilisasi uang secara cepat.

Tujuannya dari mobilisasi utang luar negeri tidak lain adalah dalam rangka menambah penerimaan devisa dari utang luar negeri selain untuk menopang oligarki RiniSoemarno sendiri. Padahal utang utang BUMN tersebut sudah sangat besar. Peringatan DPR terhadap pemerintahan Jokowi yang mengelola BUMN tidak digubris.

Sekarang BUMN praktis bertahan dalam tumpukan utang. Untuk dapat melunasi utang BUMN mengeruk rakyat untuk dapat rupiah. Kalau rakyat sudah sengsara, sekarat, dan tidak mampu beli BBM, listrik, bayar ongkos kereta api, maka BUMN, tidak tidak sanggup lagi untuk bayar utang. Belum lagi jika rupiah terus merosot maka utang luar negeri dalam bentuk dollar ini akan meningkat berkali kali lipat. Cepat atau lambat BUMN semuanya akan jatuh ke tangan asing.

Tidak hanya itu, ke depan seluruh infrasturktur nasional jalan tol, bandara, pelabuhan, jaringan telekomunikasi dan informasi, yang merupkan rantai suplai (supply chain) pangan, energi, bahan baku industri nasional akan berada dibawah kontrol asing, jangan menyesal jika dalam sekejap mata nantinya negara ini bisa diambrukkan tanpa melalui invasi militer.

Oleh : Salamuddin Daeng (AEPI-Jakarta)

Artikel ini ditulis oleh: