Jakarta, Aktual.com – Pemerintah kerap membanggakan diri dengan adanya status ease of doing business (EoDB) yang membaik dan juga disertai dengan peringkat daya saing yang juga membaik.
Namun sayangnya, yang dilihat para investor itu banyak janji pemerintah yang belum terjadi. Selain harga gas yang masih mahal, pemerintah juga tak mampu atasi masalah di sektor riil seperti daya beli yang lesu, industri pengolahan seperti kehabisan tenaga, dan 16 paket kebijakan yang hanya menjadi macan kertas.
“Seperti terkait janji harga gas industri murah, tapi sampai sekarang ternyata masih mahal juga. Bahkan lebih mahal dibanding negara yang tidak punya gas alam. Ini yang membuat kepercayaan investor rendah,” kata ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara di Jakarta, Minggu (6/1).
Janji selama ini, kata dia, tak cuma reformasi soal perizinan investasi yang didorong, tetapi sektor riil juga perlu diberi stimulus. Cuma masalahnya, selama ini stimulus tidak berjalan efektif.
Untuk itu, di tahun ini dalam rangka memacu investasi lebih tinggi, masih tergantung dengan kebijakan pemerintah. Karena yang selama ini diharapkan untuk menjadi stimulus ekonomi itu ada dua, yaitu belanja pemerintah dan ekspor.
“Untuk belanja pemerintah seperti bansos jangan telat disalurkan. Kemudian program padat karya juga harus segera jalan di awal tahun. Ini bisa efektif untuk memulihkan daya beli dan meningkatkan permintaan sektor ritel,” jelas dia.
Soal ekspor, dia menyarankan pemerintah harus lebih agresif membuka jalan ke negara alternatif. Komoditas ekspor yang dipacu jangan sekadar bahan mentah, tetapi produk jadi, sehingga bernilai tambah positif.
“Terakhir, jaga situasi politik dan kebijakan jangan aneh-aneh, dan buat gaduh suasana, sehingga tidak kondusif nantinya,” pungkasnya.
(Reporter: Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka