Jakarta, Aktual.com – Analisa singkat tentang proyek Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dilontarkan Susi Pudjiastuti dalam kapasitasnya sebagai pemerhati lingkungan.
Menurut Susi, ada satu pertanyaan yang timbul dari analisa tersebut, yakni apa sebenarnya tujuan mega proyek yang lebih dikenal dengan sebutan Giant Sea Wall itu? Jika melihat tujuan utamanya ialah ingin mengantisipasi banjir di Ibu Kota yang berasal dari laut.
“Persoalannya yang saya lihat dari awal pada saat saya rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (kala itu masih dijabat oleh Sofyan Djalil), Jakarta ini akan membangun satu proyek untuk mengurangi banjir, yaitu bendungan atau NCICD. Intinya selain untuk menambah ruang (daratan), tapi yang pertama kali tujuannya adalah untuk menanggulangi banjir Jakarta,” papar Susi dalam sebuah diskusi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (4/10).
Kendati demikian, program ini menurut Susi bukan malah mengatasi banjir, tapi malah mengakibatkan banjir di Jakarta. Sebab, proyek NCICD belum terealisasi tapi reklamasi Teluk Jakarta sudah dilaksanakan.
Dijelaskan dia, pengerjaan proyek NCICD harusnya berjalan beriringan dengan tata kelola aliran sungai yang mengalirkan air dari daratan yang lebih tinggi dari Jakarta, ke Teluk Jakarta, juga dengan membuat penampungan air yang letaknya berada di pesisir Jakarta.
“Kalau kita orang lingkungan hidup, dan semua pembangunan Jakarta ini terutama tata kelola air, kita bilang Jakarta banjir sudah tidak aneh. Wong memang the way it’s designed and constructed right now adalah it’s a flood in program,” sindirnya.
Lebih jauh dijelaskan Susi, tata kelola aliran sungai yang dimaksud Susi ini bukan malah meluruskan dan menanggung Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti aliran Sungai Ciliwung di wilayah Kampung Pulo, Jakarta Timur.
Sebab, dengan pelurusan dan penanggulan seperti kebijakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, air sungai tidak bisa diserap oleh tanah. Terlebih, di hilirnya proyek reklamasi tengah berjalan, yang semakin menghambat aliran sungai jatuh ke pesisir Jakarta.
“Sungai diluruskan, ditanggul, jadi air gak kemana-mana. Di pesisir di reklamasi, air dipercepat turun ke bawah, tapi pantainya di jauhin, its a flood in project. Bukan membendung, mempercepat air dari hulu, tapi memperlambat air keluar dari daratan Jakarta,” terangnya.
Sebagaimana pemaparan mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Emil Salim, warga Jakarta saat ini banyak membutuhkan air tawar. Maka dari itu dibutuhkan tata kelola air sungai. Bukan seperti kebijakan Ahok yang menanggul dan meluruskan DAS.
“After then that, Prof Emil bilang Jakarta ini terlalu banyak menyedot air tanah, sehingga banyak pori-pori tanah keropos sehingga masuk air laut. Suatu hari bisa terjadi banjir karena naiknya air laut. Kedua dipercepat air turun dari laut, ada penyodetan, pelurusan aliran sungai, tapi tidak ada komprhensif water set, DAS gak diperbaiki,” tutur Susi.
Harusnya, sambung dia, aliran sungai di Jakarta biarlah berkembang dengan sendirinya. Dibiarkan berbelok agar bisa diserap oleh tanah dan dimanfaatkan untuk kebutuhan keseharian warga.
Sebab, dengan pelurusan sungai bukan hanya menghalangi air untuk diserap oleh tanah. Cara yang digembar-gemborkan Ahok ini justru berdampak negatif bagi warga yang tinggal di tengah-tengah Jakarta.
“Jadi sedimentasi gak keluar kan, kanan kiri sungai ditanggul. Jadi kemana itu lumpur? Air jadi gak keluar. Tanggulnya juga ditinggin, suatu saat tidak kuat, jebol, banjir bandang. Itu satu komentar saya sebagai orng yang peduli dengan lingkungan, bukan sebagai Menteri,” pungkasnya.
M. Zhacky Kusumo
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan