Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menyatakan akibat adanya revisi Undang-Undang KPK menyebabkan Indonesia tak patuh dengan Konvensi PBB Antikorupsi atau disebut United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Syarif di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa (10/12), menyatakan bahwa sebelumnya Indonesia telah meratifikasi UNCAC.

Sebagai konsekuensi hukum dari ratifikasi UNCAC, kata dia, Indonesia harus mengikuti prinsip-prinsip dan norma-norma yang di dalam UNCAC.

“Apa yang telah dipesankan UNCAC yang telah kita ratifikasi itu? Satu, lembaga antikorupsi harus independen. Alhamdulillah, dahulu KPK kita itu independen, ‘kan sudah “comply” (patuh) sekarang kita ubah menjadi tidak independen. Berarti kita tidak “comply” lagi dengan UNCAC,” tuturnya.

Pada tahun 2012, kata dia, sekitar 80 negara berkumpul di Jakarta melahirkan “Jakarta Principles for Anti-Corruption Agencies dan disebut bahwa KPK dijadikan salah satu model dalam pembentarasan korupsi.

“Di situ juga dikatakan KPK salah satu model bahwa KPK itu juga harus permanen, itu menurut UNCAC yang kita ratifikasi. Habis itu juga harus independen dari segi keuangan, sumber daya manusia,” ungkap dia.

Oleh karena itu, kata dia, dengan adanya revisi UU KPK, lembaga ini tidak menjunjung tinggi sebagai pihak yang meratifikasi UNCAC.
“Pertanyaannya, apakah Indonesia telah “comply”? Menjunjung tinggi sebagai pihak yang meratifikasi UNCAC? Dengan perubahan UU KPK itu makin jauh dari panggang,” ujar Syarif.

Ia pun menegaskan bahwa seharusnya Indonesia mempunyai komitmen pemberantasan korupsi.

“Yang dibenahi itu adalah undang-undang tindak pidana korupsinya dahulu bukan Undang-Undang KPK-nya. Jadi, yang gatal kiri yang digaruk kanan. Akan tetapi, kenyataan kita harus menghormati parlemen dan pemerintah yang telah membuat keputusan seperti itu, dan itu jelas bertentangan dengan konvensi UNCAC,” kata Syarif.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan