Jakarta, Aktual.com – Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji menilai bahwa sikap Kementerian Kesehatan bertabrakan dengan sikap Presiden yang tidak memprioritaskan mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pasalnya Presiden Joko Widodo telah menyatakan akan mengkaji dari banyak aspek soal aksesi FCTC. Namun Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan M. Subuh di sebuah media cetak nasional justru menyatakan, Pemerintah akan mengaksesi FCTC setelah Lebaran.

Menurutnya, Presiden Jokowi sudah sangat arif dan bijak  bertindak demi kelangsungan kedaulatan bangsa ini. Presiden menyatakan, persoalan tembakau tidak bisa di lihat dari satu aspek kesehatan. Ada banyak aspek yang terkandung di dalam industri hasil tembakau, mulai dari soal hak asasi manusia, petani, dan buruh pabrik hingga pedagang asongan yang harus dilindungi.

“Kami menyayangkan logika berfikir Dirjend P2P Kemenkes RI yang selalu mendesak pemerintah kita untuk segera menandatangani FCTC,” kecam Agus di Jakarta, Kamis (23/6).

Seharusnya, Menteri Kesehatan sebagai pembantu Presiden mendukung langkah Presiden. Bukan bersikap sebaliknya. Pemerintah tidak usah mengaksesi FCTC karena PP 109 sudah sepenuhnya mengadopsi isi FCTC.

“Petani tembakau menolak keras FCTC. Jangan hanya melihat aspek kesehatan saja, namun memperhatikan kultur budaya petani. Kami para petani ingin berdaulat menanam tembakau,” tegasnya.

Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan juga meminta Kemenkes tahu diri bahwa aksesi FCTC secara politis tidak didukung oleh Presiden Jokowi. Presiden tahu betul bahwa perlindungan kesehatan masyarakat harus dilakukan secara komprehensif tanpa mematikan pihak petani tembakau dan seluruh stakeholder pertembakauan di Indonesia.

“Kekuatan kretek sebagai salah satu kekuatan ekonomi nasional tentu akan mati dengan aksesi FCTC,” ujar Ketua KNPK, Zulvan.

KNPK menilai, Kemenkes tidak berdaya menghadapi tekanan kampanye gerakan anti-tembakau. Ada kesan, saat ini kelompok antitembakau adalah pengendali Kemenkes. “Presiden harus menegur Menteri Kesehatan,” ujarnya.

Adapun pengamat hukum Margarito Kamis mengingatkan, sikap Kementerian tidak boleh melampaui presiden, terutama berkaitan dengan regulasi yang punya dampak luas seperti FCTC.

Ia menduga, sikap melawan Kemenkes soal FCTC karena didorong kepentingan asing yang selama ini mendanai kampanye anti tembakau di Tanah Air. Bahkan, saat ini, ada kesan, pemerintah terkena euforia merespon kampanya anti tembakau yang didorong asing sehingga seolah-olah urusan tembakau hanya dimensi kesehatan.

Secara ketatanegaraan, Margarito menjelaskan, Kemenkes atau Kementerian lain tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun dalam soal FCTC ini. Termasuk pada pembahasan ratifikasi selama belum mendapat instruksi Presiden.

“Menteri, sebagai pembantu Presiden, tidak boleh bertindak melampaui kewenangan presiden,” tandas Margarito.

Ia berpendapat jika masing-masing pejabat pemerintah berbeda pendapat soal FCTC, masyarakat bisa menilai pemerintah tidak solid alias tidak kompak.

Ia mengingatkan, FCTC dan segenap aturan mengenai tembakau dan produk-produk olahannya, disusun berdasarkan kepentingan asing. Sehingga kalau didalami, FCTC tak lebih sebagai praktik dagang tidak sehat ketimbang mengedepankan isu kesehatan.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka