Jakarta, Aktual.com – Revolusi secara terminologi berarti perubahan tatanan di dalam sebuah masyarakat yang dilakukan secara cepat dan mendasar. Berbeda dengan reformasi, yaitu perubahan yang dilakukan secara bertahap, tidak mendasar dan tambal sulam.
Revolusi kemerdekaan tahun 1945, dapat dicontohkan sebagai sebuah perubahan tatanan masyarakat yang sangat cepat dan mendasar. Disebut revolusioner karena terjadi perubahan cepat dan mendasar dari mindset dan struktur masyarakat kolonial menjadi mindset dan struktur masyarakat yang merdeka dari kolonialisme.
Sementara reformasi tahun 1998 dapat dicontohkan sebagai sebuah perubahan yang terjadi secara tidak mendasar dan tambal sulam.
Perubahan yang “cepat” dan “mendasar” adalah dua faktor mendasar dalam sebuah revolusi. Dalam bahasa Arab istilah revolusi sendiri disebut dengan sebutan “tsauroh”. Kata “tsauroh” bisa dikatakan perbendaharaan baru dalam istilah Arab. Bahkan kata itu tidak tidak ditemukan di masa Nabi Saw. Al Quran sendiri tidak menyinggung istilah revolusi atau “tsauroh”. Kitab suci pegangan umat Islam hanya menyinggung perubahan tanpa embel-embel revolusi. Dalam surat Ar Ra’d ayat 11, Allah Swt berfirman;
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”, Q. S. [13] : 11
Dalam ayat di atas Allah Swt menggunakan kata “taghyir” yang artinya adalah perubahan. Allah Swt seakan menghendaki perubahan saja tanpa syarat lain kepada manusia, kemudian Allah akan berperan lebih jauh seiring pergerakan manusia. Ada istilah umum di kalangan habib-habib tua terdahulu, “Al-harakah barokah.” Yang artinya; “Gerak itu barokah.”
Kekuatan “taghyir” atau perubahan terjelma secara terang benderang dalam aksi 411 dan 212 . Keberkahan mengemuka dan melimpah. Menurut seorang aktivis 98 yogyakarta yang tidak mau disebutkan namanya, situasi politik yang melatarbelakangi aksi 411 dan 212 yang sangat berbeda sekali dengan situasi gerakan tahun 1998.
Menurut aktivis 98 tersebut, “situasi tahun 1998 gerakan mahasiswa menghadapi sebuah rezim dengan aparatur represif, senjata dan penjara. Sementara situasi yang melatarbelakangi aksi 411 dan 212 yaitu menghadapi rezim kapital yang sangat persuasif melalui metode pencitraan yang efektif untuk menipu masyarakat.
“Setiap situasi politik menciptakan medanya sendiri, yang secara otomatis melahirkan cara dan jalannya sendiri. Revolusi memang harus dituntun oleh ideologi dan teori. Namun, tiap revolusi pasti menciptakan teorinya sendiri, ujar aktivis 98 tersebut.
Sebagai contoh gagasan untuk menduduki gedung DPR tidak pernah didiskusikan pada tahun tahun sebelumnya sebagai sebuah taktik gerakan dalam menumbangkan Presiden Soeharto. Namun situasi saat itu secara otomatis membentuk medan yang melahirkan cara dan jalannya sendiri, yaitu dengan menduduki gedung DPR.
Karena itu memaksakan diri untuk meng copy paste strategi dan taktik gerakan 98 untuk menduduki DPR yang dikuasai oleh koruptor sangatlah tidak tepat sesuai hukum hukum revolusi.
Dalam konteks tersebut, aksi damai 411 dan 212 menduduki Monas dan jalanan di pusat ibu kota dengan shalat, dzikir dan doa adalah cara yang tepat menghadapi rezim pencitraan yang di back up oleh kapital para taipan.
Dalam sebuah diskusi kecil di Kedai Teras, Condet disimpulkan aksi 411 dan 212 telah menemukan bentuk, cara dan jalannya sendiri dalam sebuah proses perjalanan pergerakan perubahan revolusioner. Aksi 411 dan 212 itu sendiri bisa dikatakan sebagai revolusi yang sedang berproses. Bahkan menurut aktivis 98 yang juga saat ini aktif berpolitik, aksi 212 itu bila bertahan hingga jam satu malam, maka pasti akan merobek topeng pencitraan dan dapat mengubah keadaan secara cepat dan mendasar.
Apalagi massa saat itu hanya bermodalkan dzikir dan doa tanpa nuansa kekerasan. Inilah modal kekuatan rakyat dalam melawan kezaliman yang dipoles gincu pencitraan.
Gerakan dzikir dan doa yang dilakukan secara massal melibatkan jutaan massa di jalanan pusat kekuasaa adalah revolusi itu sendiri, tak ada bedanya dengan terikan yel-yel sebagaimana revolusi dan gerakan massa di berbagai penjuru dunia.
Imam Khomeini sendiri mengakui yel-yel dan teriakan rakyat Iran (baca : bukan senjata) merupakan faktor utama yang meruntuhkan rezim despotik Shah.
Begitu juga aksi 411 dan 212 dan aksi-aksi yang digagas Habib Rezieq telah menemukan bentuknya dengan berdzikir, berdoa dan sholawat guna melawan kekuatan kapital yang zalim.
Diharapkan bentuk revolusioner ala Habib Rezieq yang terjelma dalam bentuk dzikir, doa dan sholawat terus berlangsung pada aksi-aksi selanjutnya hingga melunakkan hati penguasa untuk bersikap lebih adil pada rakyat dan meruntuhkan kekuatan-kekuatan penjajah dan perampok di negeri ini. Amin…
Oleh: Ali Riza Alatas
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan