Jakarta, Aktual.com – Aktifis Aksi Diam Payung Hitam Kamisan menyurati Presiden Joko Widodo. Mempersoalkan Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat.
Pertanyaan dilontarkan terkait pelarangan aksi Kamisan di depan Istana Negara dari Polda Metro Jaya, Kamis tanggal 12 November 2015 pekan lalu. Dimana pihak kepolisian memaksa aksi untuk bergeser ke lokasi yang semakin jauh dari Istana dengan menggunakan UU No 9/98.
Kepada Aktual.com, pencetus aksi Kamisan, Maria Katarina Sumarsih (52) menuturkan soal isi surat terbuka yang dilayangkan ke Jokowi itu. Dia menganggap larangan aksi itu seperti bentuk pemaksaan ala Orde Baru.
“Itu kan UU produk Pemerintah Orde Baru hasil Pemilu 1997 yang masih pro Soeharto. Jadi tujuan UU itu dibuat untuk melindungi Soeharto,” ucap dia, saat dihubungi Aktual.com, Kamis (19/11).
Yang membuat Sumarsih dan aktifis Kamisan lainnya lebih bertanya-tanya lagi, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ikut-ikutan mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228/2015. Yang kemudian direvisi jadi Pergub 232/2015, isinya Ahok menentukan lokasi untuk demo di Jakarta.
“Apakah ini suatu pertanda atau tahapan pembungkaman kebebasan berpendapat dan kembalinya Orde Baru?” ujar dia heran.
Ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Atma Jaya yang jadi korban di Peristiwa Semanggi 1998 itu mengaku heran UU No 9 itu baru disosialisasikan saat ini ketika Aksi Kamisan sudah berjalan ke-420, sejak 18 Januari 2007.
Dalam suratnya ke Jokowi, Aksi Kamisan juga pertanyakan terbitnya Surat Edaran Kapolri mengenai ujaran kebencian.
Ditegaskan dia, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dalam konstitusi/UUD 45 di Pasal 28 E (3) yang berbunyi: ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.’
Dalam penjelasannya atas surat yang dikirim ke Presiden, Sumarsih juga mengatakan mereka bakal menagih janji Presiden untuk menegakan Nawa Cita ke-4 yang berbunyi; ‘Kami akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.”
Bila dianggap melanggar UU 9/98, kata Sumarsih, bukankah tindakan aparat membunuh para pejuang reformasi dan demokrasi dan aktifis HAM, adalah pelanggaran yang lebih berat karena menabrak konstitusi? (Baca: Pelanggaran HAM Selesaikan, ‘Aksi Kamisan’ Pasti Tidak Ganggu Istana)
Bukankah apabila penguasa tidak menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berarti juga melanggar UU 26 tahun 2000.
“Di negeri ini tidak akan ada Aksi Diam Payung Hitam Kamisan apabila penguasa negeri ini menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di meja pengadilan.
Oleh karena itu, tutur Sumarsih, aktifis Aksi Kamisan menyampaikan desakan ke Presiden Jokowi. Yakni untuk:
1. Menerapkan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM secara jujur/tanpa rekayasa
2. Menegakan supremasi hukum dan HAM serta memangkas impunitas
3. Membuat program pembelajaran dan pelatihan para aparat penegak hukum untuk mewujudkan penegakan hukum yang bermartabat dan terpercaya.
Tutur Sumarsih, Aksi Kamisan hari ini diikuti sekitar 80 orang. Di antaranya dari: KontraS, Semanggi I, Keluarga Priuk, Keluarga Korban Mei, Keluarga korban penggusuran BMW, LBH Jakarta, Peace Woman Across A Globe, Omah Munir, Relawan Banjir, Pekerja Media, Aktifis 98, Walhi, Forum LGBT, Politik Rakyat, Taman Ide Kreasi, Mahasiswa Atmajaya, STF Driyakara, UI, dan Universitas Bakrie.
Artikel ini ditulis oleh: