Medan, Aktual.com – Pemerintah provinsi Sumatera Utara, pada pertengahan tahun lalu telah mengesahkan Perda Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Perda yang berisi 14 bab 29 pasal ini mengatur tentang pemenuhan hak dasar anak, dan penanganan anak yang membutuhkan perlindungan khusus, kelembagaan perlindungan anak, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Tentu hal ini harus disambut baik, karena merupakan sinyal yang kuat bagi komitmen pemerintah dalam penegakan hak-hak anak di Sumatera Utara.
Namun demikian, sangat disayangkan keberadaan Perda ini malah berbanding terbalik dengan kekerasan terhadap anak yang terjadi di Sumatera Utara. Seharusnya ketika Perda disahkan dan dijalankan, maka angka kekerasan dapat ditekan semakin rendah.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) M. Jailani dalam siaran pers yang diterima Aktual.com, Selasa (6/10).
Jailani mengatakan, lembaganya yang memang fokus dengan isu perlindungan anak, menyoroti kasus PRT (pembantu rumah tangga) di bawah umur asal Garut, Jawa Barat, yang dipekerjakan di salah satu komplek perumahan di Kota Medan, yang terungkap Maret lalu. Berlanjut kasus bullying sesama pelajar yang beredar di media sosial terjadi di Kota Binjai, September 2015. Kasus penjualan bayi yang terjadi di Medan, September 2015, dan kasus bullying di Sunggal, serta kasus penjualan anak untuk tujuan eksploitasi seksual di Medan pertengahan Mei lalu.
“Ini hanya kasus-kasus besar dan sempat terungkap di media, kami memperkirakan masih banyak kasus lain yang tak terungkap, karena biasanya angka kasus ini mengalami fenomena gunung es, apa yang terungkap hanyalah puncak gunung es yang muncul di permukaan air, sejatinya masih banyak kasus yang tak nampak di bawah permukaan laut,” tandas Jailani.
Menurut ia, lembaganya juga menyayangkan ketika penegakan hak anak malah melanggar hak anak. Hal ini berkaitan dengan kasus bullying sesama pelajar yang beredar di media sosial. Penelusuran yang dilakukan oleh KKSP, lanjut Jailani, mengungkap, bagaimana pelaku dikeluarkan dari sekolah, dan tidak ada jaminan apakah dia masih bisa bersekolah di tempat lain.
“Perda mengamanahkan bahwa anak pelaku (pidana) sekalipun, harus mendapatkan perlindungan khusus, dan tidak boleh kehilangan haknya, termasuk hak atas pendidikan,” ungkap Jailani.
Jailani menambahkan, seharusnya anak-anak pelaku bullying sekalipun harus dipandang sebagai korban. Mereka merupakan korban dari berbagai macam perilaku kekerasan yang mereka contoh baik dari masyarakat secara langsung maupun media.
“Kami juga menyayangkan bahwa pemerintah khususnya dinas terkait baik di kota maupun propinsi hanya diam tanpa ada tindakan penanganan dan pencegahan yang mencerminkan keadilan pada anak-anak tersebut,” tukasnya.
Jailani menambahkan, dirinya berharap pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan anak di Sumatera Utara harus mengambil langkah kongkrit. KPAID (Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah) Sumatera Utara, yang di dalam Perda diamanahkan dalam mewujudkan dan pengawasan perlindungan anak di Sumatera Utara, dihaeapkan tidak saja mengawal kasus-kasus yang terjadi agar bisa diselesaikan, dan pihak pelaku mendapatkan hukuman setimpal. Namun juga menganalisa dan mengkonsolidasi kasus-kasus tersebut menjadi input bagi perubahan kebijakan dan program perlindungan yang lebih baik di Sumatera Utara.
“KPAID juga harus mensosialisasikan perlindungan anak di Sumatera Utara sampai ke desa-desa dan kelurahan-kelurahan, juga ke sekolah-sekolah. Dan harus menginisiasi pembentukan jaringan perlindungan anak di desa dan kelurahan yang terintegrasi ke sekolah, sehingga kekerasan terhadap anak bisa dideteksi sedini mungkin,” ungkap Jailani
Disamping itu, sambung Jailani, KKSP juga berharap Biro Pemberdayaan perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Pemprovsu agar melakukan penguatan sistematis prihal perlindungan anak kepada kabupaten/kota yang ada di Sumatera utara.
“Ya, kami memandang kegiatan Biro PPA dalam hal koordinasi cukup baik, tapi tanpa ada penguatan sistematis tentang perlindungan anak sampai level kabupaten dan kota maka isu ini tidak akan mengakar sampai ke masyarakat, dan angka kekerasan terhadap anak bisa terus terjadi di Sumatera Utara,” tutup Jailani.
Artikel ini ditulis oleh: