Jakarta, Aktual.com – Atlet cuma berlomba dan bertanding demi mengejar prestasi tertinggi di lapangan?
Sepertinya adagium itu akan semakin ditinggalkan. Kini justru semakin banyak atlet yang memanfaatkan arena, prestasi besar dan citra positif mereka untuk memperjuangkan keadilan dan melawan ketidakadilan.
Striker Manchester United Marcus Rashford selain bersinar di lapangan adalah juga pembela gigih anak-anak terpinggirkan di Inggris.
Dia aktif mendorong parlemen mengeluarkan undang-undang yang membuat negara mengalokasikan anggaran ekstra untuk anak-anak dari keluarga-keluarga terhimpit kesulitan ekonomi, apalagi semasa pandemi ini.
Dari Formula Satu, masih di Inggris, salah satu atlet terbesar olah raga ini, Lewis Hamilton, nyaring bersuara soal kesetaraan ras dan tak bosan mendorong Formula 1 membuka kesempatan sama lapangnya kepada kaum kulit berwarna.
Hamilton juga vokal dalam masalah lingkungan. Dia mengkritik Brasil karena menebang pohon untuk membangun sirkuit baru di Rio de Janeiro pengganti Interlagos.
Dia memposting pesan di Instagramnya bahwa “kepunahan ras kita kian mungkin terjadi karena kita berlebihan menggunakan sumber daya kita.”
Hamilton yang juga keranjingan musik dan fesyen ini serius membela lingkungan tetap lestari dan tercemar dari sampah yang mendegradasi lingkungan seperti plastik. Dia bilang “saya akan berusaha memastikan bahwa sampai akhir tahun ini saya netral karbon.”
“Saya tak membiarkan siapa pun di kantor saya, tetapi juga di dalam rumah saya, membeli plastik apa pun. Saya ingin semuanya bisa didaur ulang.”
Kepedulian Hamilton bahkan sampai lapisan ozon ketika dia menjual pesawat terbangnya karena tak ingin terlalu sering bepergian lewat udara sehingga mendegradasi langit yang akibatnya kian memanaskan permukaan bumi di mana manusia berpijak.
Sementara itu bintang bola basket Los Angeles Lakers LeBron James dan superstar sepak bola putri AS Megan Rapinoe mengungkapkan ekspresinya pada masalah yang lebih berat seperti politik.
Mereka aktif mengajak rakyat sebangsanya menyalurkan suara dalam pemilu 3 November dengan tujuan mengalahkan calon yang memarjinalkan minoritas. Ya siapa lagi kalau bukan Presiden Donald Trump.
James bahkan merancang proyek “More Than a Vote” bersama sejumlah atlet yang tujuannya memerangi misinformasi di kalangan komunitas kulit hitam AS menjelang pemilu 3 November.
Selanjutnya: protes berlutut
Protes berlutut
Aktivisme atlet bukan fenomena baru. Ini sudah mengemuka sejak 1966 ketika legenda tinju kelas berat Muhammad Ali menolak wajib militer karena menentang Perang Vietnam. Ali pun terpaksa absen tiga setengah tahun di ring tinju karena lisensi tinjunya ditolak semua negara bagian, bahkan paspornya dicabut.
Langkah Ali diikuti oleh dua atlet Olimpiade –Tommie Smith dan John Carlos– yang masing-masing menyabet medali emas dan perunggu Olimpiade Meksiko 1968. Kedua atlet ini menyampaikan salut kulit hitam saat seremoni medali yang berujung terusir cepatnya mereka dari arena Olimpiade, bahkan mendapatkan ancaman pembunuhan di AS.
Dalam dekade-dekade lewat protes atlet terus terjadi, tetapi menguap ketika dunia masih kuat dibekap oleh adagium bahwa arena olah raga hanya bicara tentang olah raga.
Namun, karena atlet adalah manusia yang sepanjang hidupnya bertanding dalam lingkungan sportivitas di mana menang dan kalah ditentukan murni oleh prestasi, bukan hal lain di luar itu, dan oleh aturan baku yang sudah mereka sepakati dan hormati, maka mereka pun menjadi peka terhadap ketidaksportifan dan ketidakadilan.
Itulah yang mendorong mereka bersuara, apalagi pada zaman ini ketika unek-unek lebih mudah disampaikan melalui media sosial yang 24 jam mendampingi manusia.
Awalnya keluh kesah banyak disalurkan di medsos dan media saluran sebelum itu, tetapi kian hari atlet menjadi kian berani mengungkapkan unek-unek itu langsung di lapangan.
Pada 2016 quaterback NFL Colin Kaepernick membuat heboh ketika berlutut selagi lagu kebangsaan AS diperdengarkan. Dia memprotes perlakuan brutal polisi terhadap komunitas hitam dan minoritas di negerinya. Simbol protes Kaepernick inilah yang kemudian diadopsi secara global empat tahun kemudian dalam gerakan Black Lives Matter.
Ekspresi atlet yang sama sekali tak ada kaitannya dengan olahraga juga ditunjukkan para olahragawan di banyak negara dari beragam cabang olah raga, termasuk sepak bola.
Pada Piala Dunia 2018, dua pemain Swiss keturunan Kosovo, Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri, memamerkan gestur mendukung Kosovo saat merayakan gol ke gawang Serbia.
Kosovo adalah bekas provinsi Serbia yang memerdekakan diri lewat perang brutal seperti halnya terjadi di beberapa sempalan Yugoslavia, khususnya Bosnia Herzegovina.
Di kolam renang, atlet Australia Mack Horton menolak berdampingan dengan perenang China Sun Yang yang memenangkan medali emas gaya bebas 400m putra pada Kejuaraan Dunia Renang 2019.
Horton yang mendapatkan medali perak memprotes prilaku tidak sportif Sun Yang karena tetap mengikuti lomba padahal tengah menghadapi dakwaan doping.
Kemudian, ketika kabar global China melalukan penindasan terhadap minoritas Uighur di Xianjiang, sejumlah atlet lintas negara bersuara memprotesnya.
Salah satunya adalah mantan striker Chelsea Demba Ba yang pernah memperkuat Shanghai Shenhua di Liga Super China yang menyeru dunia sepak bola mengutuk persekusi China di Xianjiang.
Di tanah air, ada Taufik Hidayat. Walau melakukan kritik setelah sudah tidak lagi menjadi atlet, ia bersuara kritis tentang masalah yang terjadi dalam manajemen olahraga, khususnya bulutangkis.
Selanjutnya: marketplace demokrasi
Marketplace demonstrasi
Momentum yang membuka aktivisme atlet dalam skala besar adalah terbunuhnya warga kulit hitam Amerika Serikat George Floyd oleh polisi kulit putih pada 25 Mei 2020 yang memicu gerakan Black Lives Matter yang tidak hanya terjadi di negeri itu tetapi juga menjalar ke seluruh dunia.
Gerakan Black Lives Matter itu mendorong para atlet liga-liga olahraga termasyur dunia, termasuk NBA dan liga-liga sepak bola elite Eropa, menyampaikan gestur berlutut pada awal pertandingan sebagai tanda solidaritas untuk perjuangan keadilan ras.
Aktivisme atlet dengan berbagai motif dan ekspresinya oleh beberapa pihak dianggap mengancam kemurnian misi olahraga. Lalu muncul kekhawatiran turnamen-turnamen olah raga termasuk Olimpiade Tokyo tahun depan bakal menjadi ajang protes.
Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach sampai-sampai menengarai Olimpiade Tokyo ini bisa menjadi “marketplace demonstrasi”.
Bach tidak melarang atlet mengekspresikan suara hatinya tapi Bach tak mau itu diutarakan di lapangan dan saat seremoni medali seperti dilakukan Mack Horton dalam Kejuaraan Dunia Renang 2019.
Bach menulis di koran Inggris The Guardian bahwa “atlet itu mempersonifikasikan nilai-nilai keunggulan, solidaritas, dan perdamaian. Mereka mengekspresikan keinklusifan dan saling menghormati yang juga netral secara politik di lapangan dan selama seremoni (medali).”
“Kadang-kadang fokus olahraga ini perlu diselaraskan dengan kebebasan berbicara yang dinikmati pula oleh semua atlet dalam Olimpiade. Inilah alasan ada aturan di lapangan pertandingan dan seremoni demi melindungi spirit olahraga ini,” sambung Bach.
Kekuatan Olimpiade yang mempersatukan, kata Bach, hanya bisa terwujud jika setiap orang saling menunjukkan rasa hormat dan solidaritas. “Jika tidak, Olimpiade ini akan turun derajat menjadi marketplace demonstrasi dari berbagai jenis, yang memecah belah, bukan menyatukan dunia.”
Apakah imbauan Bach itu terwujud di Tokyo tahun depan nanti? Bisa jadi. Tetapi sejumlah atlet seperti Megan Rapinoe menolak mentah-mentah larangan tidak berprotes selama Olimpiade. Bahkan atlet-atlet AS dan legenda atletik John Carlos menyatakan kepada IOC bahwa “Atlet tidak lagi bisa dibungkam.”
Kotak Pandora tampaknya sudah terbuka lebar-lebar. Atlet putra dan putri sudah tak tertahankan mengekspresikan suara hatinya di panggung krida ketika semua orang di seluruh dunia tercurah ke situ.
Atlet-atlet ini mungkin beranggapan kalau rezim dan pemimpin saja bisa mengeksploitasi sukses mereka sebagai sukses rezim dan pemimpin itu, mengapa atlet dilarang mengeksploitasi posisinya untuk bersuara menentang apa yang mereka anggap tidak sportif dan tidak adil selain menyuarakan nilai-nilai kehidupan yang mereka positif untuk khalayak. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin