Dalam menganalisa pangsa pasar industri ride-hailing itu, Kodrat mengungkapkan, KPPU memerhitungkan beberapa variable. Antara lain kesamaan produk dan jasa.

”Nah, saat ini bisnis GO-JEK kan sebenarnya berkembang ke bisnis lainnya seperti GO-SEND, GO-FOOD, GO-CLEAN, GO-PAY dan lain-lainnya. Jadi GO-JEK tidak hanya menyediakan aplikasi untuk tranportasi online,” tutur Kodrat.

Maka menurutnya, cakupan konsumen dan segmen pasar GO-JEK berpotensi semakin meluas seiring dengan perkembangan lini bisnisnya. Dengan begitu penghitungan market share pun berpotensi dipisahkan berdasarkan layanannya.

Atas dasar itu pula persaingan GO-JEK secara utuh tidak bisa lagi head to head dengan GRAB dalam penghitungan penguasaan pasar di industri layanan berbasis teknologi di Indonesia.

“Karena mereka (GO-JEK)melakukan diversifikasi bisnis sebagai perusahaan aplikator,” Kodrat menegaskan.

Sementara itu, sebelumnya ada pengumuman dari GRAB yang mengklaim telah menguasai industri ride-hailing Indonesia sebesar 65 persen, menurut Kodrat, bisa jadi atas dasar perhitungan sendiri dari GRAB.

”Oke saja walau (pangsa pasar) itu klaim sepihak (GRAB) ya,” katanya. Tapi KPPU, menurut Kodrat, tetap melakukan fungsi pengawasan kepada perusahaan aplikator terkait relasi kemitraan dengan para mitra GO-JEK dan GRAB.

”Persaingan usaha GO-JEK dengan GRAB dipantau sesuai dengan peraturan. Sebab dinamika bisnis terus berkembang,” ucapnya.

Pertimbangan dinamika itu pula yang mendorong KPPU mengkaji revisi Undang Undang (UU) nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Tujuan revisi UU ini agar poin-poin aturannya sesuai dengan perkembangan bisnis digital di masa kini dan yang akan datang,” pungkas dia.